Senin, 17 Februari 2014

Jawaban Syubhat Syiah (6)


Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Syubhat: Kalian membela ibu kalian, ‘Aisyah dengan kebatilan terhadap Nabi shallallahu ‘alaih wa aalih, sebagaimana teman kalian, al-Bukhari yang telah menyebutkan dalam shahihnya:

أَنَّهُ أَشَارَ نَحْوَ مَسْكَنِ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-، وَقَالَ: «هُنَا الفِتْنَةُ ثَلاَثًا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ»
“Bahwa beliau mengisyaratkan ke arah tempat tinggal ‘Aisyah -Radhiallahu ‘Anha- seraya bersabda, ‘Di sanalah fitnah -tiga kali- dari arah terbitnya tanduk syetan.”
Ini berarti bahwa ‘Aisyah adalah sumber fitnah.

Bantahan:
Pertama, ya, ‘Aisyah adalah ibu kami dan ibu bagi setiap orang-orang mukmin. Adapun orang-orang munafik, dan orang-orang kafir, maka ibu mereka adalah Ummu Jamil Si Pemikul Kayu Bakar, istri Abu Lahab.
Adapun sahabat kami, Imam al-Bukhari yang wajib bagi Anda untuk belajar adab kesopanan saat menyebutnya, maka dia adalah seorang Imam agung, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan rizki kepada para pengikut agama manapun seperti yang Allah berikan kepada kaum muslimin, yaitu rizki berupa Imam al-Bukhari yang telah mengumpulkan hadits yang shahih dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Anda tidak mengetahui dan tidak akan mengetahuinya kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hidayah bagi Anda. Maka mudah-mudahan Allah merahmati Imam kami, al-Bukhari dengan rahmat yang luas sekalipun dia bukanlah orang Arab, akan tetapi dia adalah imam bagi kaum muslimin, yang Arab maupun non Arab. Seandainya kami berada di zamannya, tidak akan menjadi lapang bagi kami kecuali menjadi pembantu dan pelayan baginya.
Adapun jawaban saya terhadap syubhat Anda yang lemah seperti jaring laba-laba; adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat bersabda,
«هُنَا الفِتْنَةُ ثَلاَثًا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ»
‘Di sanalah fitnah -tiga kali- dari arah terbitnya tanduk syetan.” Beliau mengisyaratkan ke arah rumah ‘Aisyah sebagaimana yang disifatkan oleh perawi. Sekarang perhatikanlah dengan teliti bersama saya, wahai orang yang mahir berbahasa Arab akan sifat yang digunakan oleh perawi. Dia berkata nahwa [نحو] dan tidak berkata ilaa[إلى]. Maka kalimat nahwa [نحو] bermakna arah, sedangkan kalimat ilaa [إلى] bermakna tempat, yang dimaksud dengan isyarat, yaitu tempat tinggal ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Dikarenakan kalimat yang disebutkan oleh hadits adalah nahwa [نحو] maka maknanya adalah arah, sebab rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ada di arah timur. Maka yang diinginkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah arah, dan tidak bermaksud rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha (yang itu juga rumah beliau sendiri).

Saya akan memberikan satu contoh kepada Anda, agar Anda bisa memahami dengan mudah. Seandainya Anda sedang pergi ke pasar, lalu ada seseorang yang bertanya kepada Anda, ‘Anda mau pergi kemana?’ Apakah Anda akan menjawabnya dengan:
إني ذاهب إلى السوق
‘Saya akan pergi ke pasar’, ataukah anda menjawab dengan:
إني ذاهب نحو السوق؟
‘Saya akan pergi ke arah pasar?’

Yang menguatkan kebenaran ucapan kami adalah bahwa al-Bukhari Rahimahullah telah menyebutkan dalam shahihnya riwayat lain dari hadits ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم يَقُولُ: «الفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا» وَأَشَارَ إِلَى المَشْرِقِ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Fitnah itu dari sana.’ Seraya Nabi mengisyaratkan ke arah timur.” (HR. al-Bukhari (5296))
Maka apakah benar mensifati tempat tinggal dengan ardh (bumi, tanah)? Kemudian apakah benar Nabi Subhanahu wa Ta’ala mensifat tanah yang beliau tinggal di atasnya sebagai tanah fitnah? Kemudian bahwa tempat tinggal ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, –seandainya Anda mengetahuinya–, adalah tempat tinggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[1]

Tahukah Anda wahai para pembaca Qiblati, mengapa kami ingin berdialog dengan orang-orang syi’ah memakai bahasa Arab? Ya karena sebab seperti ini dan yang lainnya. Kami ingin orang yang berdialog bersama kami adalah orang yang berbicara bahasa Arab. Maka bagaimana jadinya jika setiap orang Syi’ah di Indonesia tidak bagus dan tidak berbicara bahasa Arab? Jika mereka demikian, bagaimana mungkin mereka bisa memahami makna nahwa [نحو] dan ilaa [إلى] dalam bahasa Arab?

Oleh karena itulah mudah bagi orang yang memasukkan agama syi’ah ke Indonesia untuk menipu orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Kemudian jadilah mereka para tokoh di kalangan mereka, lalu mereka turut andil dalam memperdayai orang-orang awam sebagaimana mereka telah terperdaya. Ini jika kami berhusnuzhan kepada mereka.

Syubhat: Sesungguhnya yang pasti di sisi kami bahwa ‘Aisyah dan Hafshah -mudah-mudahan Allah meridhai keduanya- telah memerintah untuk membunuh Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- setelah keduanya meletakkan racun di mulut beliau. Dan Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- wafat sebagai akibatnya. Maka betapapun kalian berusha untuk menutupinya, kalian tidak akan mampu mengingkarinya karena hal itu telah diriwayatkan dalam kitab-kitab kalian!

Bantahan:
Demikianlah agama kalian wahai orang syiah berdiri di atas kedustaan. Tidak mungkin ditemukan seorang syi’ah pun yang tidak berdusta. Oleh karena itulah seluruh ulama bersepakat bahwa kalian itu adalah makhluk paling pendusta. Oleh karena itu Imam Syafi’i Rahimahullah berkata tentang kalian:
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling disaksikan kedustaannya melebihi orang-orang Rafidhah.” (Sunan al-Kubra, al-Baihaqiy (20905))
Agar kami menjawab Anda dengan jelas, maka kami harus mendatangkan riwayat tersebut serta menjelaskannya dengan rinci. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada Anda kepada agama-Nya yang hak, yang dia ridhai bagi seluruh alam.
عن عَائِشَة رصي الله عنها قالتْ: لَدَدْنَا رَسُولَ اللَّهِ صل الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ، وَجَعَلَ يُشِيرُ إِلَيْنَا: «لاَ تَلُدُّونِي» قَالَ: فَقُلْنَا: كَرَاهِيَةُ المَرِيضِ بِالدَّوَاءِ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ: «أَلَمْ أَنْهَكُمْ أَنْ تَلُدُّونِي» قَالَ: قُلْنَا: كَرَاهِيَةٌ لِلدَّوَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم: «لاَ يَبْقَى مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا لُدَّ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَّا العَبَّاسَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَشْهَدْكُمْ»
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata, ‘Kami melakukan ludud kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada saat beliau sakit, yang kemudian menjadikan beliau memberikan isyarat kepada kami, ‘Janganlah kalian melakukan ludud kepadaku.’ Dia berkata, ‘Maka kami jawab, ‘Ketidak sukaan orang yang sakit kepada obat.’ Maka tatkala beliau siuman, beliau berkata, ‘Bukankah aku telah melarang kalian agar jangan meludud aku?’ Dia berkata, ‘Maka kami katakan, ‘Ketidak sukaan pada obat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali diludud, dan aku melihat kepada al-Abbas, karena dia tidak menyaksikan kalian.’ (HR. al-Bukhari Muslim)
Ludud adalah obat yang dituangkan di salah satu kedua sisi mulut orang yang sakit.
Sekarang kita ingin dari setiap orang berakal untuk mengikuti bantahan ini dengan baik, kemudian menghukuminya dengan akalnya agar bisa mengetahui bagaimana kezhaliman orang-orang Rafidhah ini kepada Ibu kita, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha.
Pertama, ludud itu adalah pengobatan, maka bagaimana syi’ah mengetahui komposisi obat yang diletakkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut? Dan bagaimana mereka tahu bahwa itu adalah racun?!
Kedua, sesungguhnya orang yang menukil kejadian itu kepada kaum muslimin adalah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha sendiri, maka bagaimana dia menukil untuk kaum muslimin pembunuhannya terhadap Nabi, suami dan kekasinya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Ketiga, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan obat yang sama pada setiap mulut orang yang ada di kamar tersebut dari para ummahatul mukminin, kecuali al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu, lalu mengapa beliau yang wafat darinya, dan mereka semua tidak mati?!
Keempat, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengabarkan kepada paman beliau, al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu dengan apa yang mereka perbuat; yaitu meletakkan racun di mulutnya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dia meminta qishash dari orang yang membunuh beliau? Jika Anda sekalian berkata: Nabi telah memberitahunya, maka di manakah dalil akan pemberitahuan itu? Jika Anda sekalian mengatakan bahwa dia belum memberitahukannya, ‘Maka bagaimana kalian mengetahui bahwa ludud itu adalah racun, bukan obat, sementara al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu sendiri tidak mengetahuinya?!
Kelima, obat tersebut tidak diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa ada sebab, bahkan obat itu diberikan karena sakit beliau.
Keenam, obat tersebut tidak diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali setelah istri-istri beliau -mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua- bermusyawarah tentang pemberian obat tersebut. Dan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (45/460), dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah (3339).
Ketujuh, racun yang diletakkan oleh wanita Yahudi di makanan yang dihidangkan untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibongkar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kambing tersebut memberitakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa daging kambing itu diberi racun. Lalu mengapa hal itu (yaitu pemberitahuan oleh Allah) tidak terjadi pada racun yang diletakkan oleh ‘Aisyah di mulut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Yang mengherankan, sebagian orang-orang Rafidhah mengingkari riwayat ini. lalu mereka membebaskan orang Yahudi tersebut dari perbuatan rendah itu, padahal riwayatnya mutawatir, dan sanadnya shahih, dan sekalipun Allah telah memberitakan bahwa Yahudi telah membunuh para Nabi, sekalipun demikian Rafidhah melepaskan mereka. Tidak samar atas orang yang meneliti sebab pembelaan Rafidhah terhadap orang Yahudi adalah karena pendiri sekte ini adalah ‘Abdullah bin Saba`, si Yahudi. Maka menjadi lumrah seorang Yahudi dilepaskan sekali pun riwayat tersebut shahih, lalu melekatkan tuduhan kepada para sahabat yang agung tanpa adanya sanad shahih, tidak juga dha’if!!
Kedelapan, termasuk perkara yang jelas dalam riwayat tersebut adalah bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memahami bahwa larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk tidak meludud beliau itu adalah larangan syar’i. bahkan mereka memahaminya bahwa itu sekedar ketidak sukaan orang sakit kepada obat. Dan pemahaman mereka ini bukanlah sesuatu yang diingkari secara lahirnya. Sungguh mereka telah berterus terang, –sekalipun mereka tidak punya udzur di sisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena hukum asalnya adalah memenuhi perintah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam–, bahwa mereka telah berbuat salah dalam mendiagnosa obat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mereka telah memberikan kepada beliau obat yang tidak sesuai dengan sakit beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak berobat hanyalah karena obat tersebut tidak cocok dengan penyakit beliau.’ (Fathul Bari, 8/147-148)
Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajari mereka. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, ‘Yang tampak bahwa beliau ingin mendidik mereka dengannya, agar mereka tidak mengulanginya. Dan itu adalah pendidikan kepada mereka, bukan qishash, tidak juga balasan.’ (Fathul Bari, 8/147)
Setelah jawaban ini, saya katakan sekali lagi, mudah-mudahan Allah merahmati Imam Syafi’i yang telah berkata tentang Anda sekalian, ‘Aku tidak melihat seorang pun yang paling disaksikan kedustaannya melebihi orang-orang Rafidhah.’

Syubhat:
Anda sekalian tidak menyetujui pengamalan bid’ah sebagaimana Anda klaim. Jika demikian maka mengapa Anda menyetujui khalifah kalian, ‘Utsman -mudah-mudahan Allah meridhainya-, yang telah mengadakan satu adzan tambahan pada hari Jum’at atas adzan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalih, dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu berada dalam neraka. Jadi orang yang mengadakan bid’ah ini dan mengamalkannya berada dalam neraka?!

Jawab: Sebenarnya, Anda bisa bertanya tanpa beradab buruk terhadap sebaik-baik makhluk Allah setelah para Nabi. ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu bukanlah khalifah kami saja, akan tetapi dia  adalah khalifah kaum muslimin, dan secara pasti Anda setuju dengan saya bahwa dia tidak akan pernah menjadi khalifah bagi orang-orang Yahudi dan Majusi.

Kemudian, Anda harus mengetahui, bahwa ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu kala itu ada saat ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu memerintahkan untuk menambah adzan tambahan. Lalu mengapa ‘Ali tidak mengingkarinya pada dia adalahal-Washiyl Ma’shum (yang diberi wasiat lagi yang terjaga dari kesalahan) sebagaimana yang Anda sekalian katakan? Maka bagaimana ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu ridha dengan adzan tambahan tersebut, serta diam, dan tidak mengingkari ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu?
Kemudian mengapa, setelah ‘Ali menjadi khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin, dia tidak mengeluarkan perintah untuk menghilangkan adzan tambahan itu dari seluruh negeri?
Jadi, berdasarkan apa yang Anda katakan, jadilah ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu turut andil dalam meneruskan kebid’ahan ini. Atas dasar ini, apakah layak ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu disifati dengan statemen yang telah Anda keluarkan dalam pertanyaan Anda (tentang Khalifah Usman tadi), yang tidak layak bagi saya untuk mengulanginya?!!
Seandainya Anda mengenal sejarah dengan baik, pastilah Anda tahu bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu mengingkari ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu atas kepemimpinan sebagian pegawainya. Maka seandainya adzan tambahan itu dikategorikan oleh ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu sebagai sebuah bid’ah, pastilah dia akan mengingkarinya, dan tentunya itu lebih ringan daripada pengingkarannya terhadap para pegawainya. Ini adalah sebuah dalil atas disukainya apa yang dilakukan oleh ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu dengan perintahnya untuk adzan pertama. Sesungguhnya diamnya para sahabat Radhiallahu ‘Anhum adalah ijma’ sukuti (kesepakatan dengan diam tidak berkomentar), dimana tidak pernah disebutkan pengingkaran salah seorang dari para sahabat terhadap ‘Utsman, maka jadilah itu sebagai ijma’ sukutiy.
Kemudian, sesungguhnya perbuatan khalifah ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu memiliki sanad dan hujjah dengan apa yang telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
»..فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ..«
“… maka pegangilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin, pegang teguhlah dengannya, dan gigitlah dengan gigi geraham…” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Turmudzi)
Sisi argumentasinya dari hadits tersebut adalah bahwa kita diperintah untuk mengikuti sunnah khulafa`ur rasyidin, dan ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu adalah termasuk bagian dari mereka, maka jadilah apa yang dia sunnahkan, yaitu adzan pertama sebagai adzan syar’i.
Kemudian, sesungguhnya perbuatan ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu, adalah untuk satu kemaslahatan; setelah jarak rumah-rumah itu jauh, lalu luas kota menjadi besar. Dia memerintahkan adzan pertama agar bisa sampai kepada seluruh manusia. Seandainya bukan karena maslahat ini, maka pastilah ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu tidak akan menambah atas sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Para ulama ahlussunnah wal jama’ah, telah berselisih pendapat tentang diteruskannya adzan ini, terutama setelah perkembangan teknologi dan keberadaan pengeras suara. Maka sebagian mereka berpendapat untuk kembali kepada satu adzan saja, yaitu pada saat khatib naik ke mimbar sepanjang alasan yang digunakan oleh ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu untuk menambah adzan kedua telah hilang. Dan saya tidak ingin memperluas cabang ini, karena ini bukan inti permasalahan.
Sekarang, permasalahannya adalah bahwa Anda sekalian wahai kaum Syi’ah ingin menjadi kaum yang lebih ma’shum daripada imam kalian yang ma’shum sebagaimana yang kalian yakini. Dia, ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu, tidak mengingkari hal ini, tapi kalian mengingkarinya. Ini berarti bahwa Anda sekalian lebih faham terhadap agama ini daripadanya. Maka jika dia dulu telah diam, lalu mengapa Anda sekalian tidak diam jika kalian mengaku mengikutinya? Saya memohon kepada Allah agar menjauhkan kaum muslimin dari keburukan Anda sekalian.
Kepada kaum muslimin secara umum: Dalam syubhat ini dan banyak lainnya, Anda bisa memperhatikan buruk sangkanya Syi’ah terhadap para sahabat Radhiallahu ‘Anhum. Mereka mena`wilkan seluruh tindakan dan perkataan para sahabat kepada sesuatu yang lain. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka dengan buruk sangka mereka terhadap makhluk terbersih dan terbaik setelah para Nabi dan Rasul dengan manjadikan mereka menyimpang dari agama ini. Sungguh, buruk sangka mereka terhadap para sahabat telah menghantarkan mereka kepada penyimpangan akal mereka, dan kelainan keberagamaan mereka. Sesungguhnya saya katakan -wallahu a’lam- bahwa ini adalah hukuman Allah kepada orang-orang Syi’ah di dunia, sebelum di akhirat.

Seandainya Anda memperhatikan keadaan mereka dalam beribadah, pastilah Anda akan tahu makna penyimpangan yang saya maksudkan. Shalat mereka di atas tanah al-Husainiyyah, bukankah ini termasuk sebuah penyimpangan dalam agama? Keluarnya mereka dari shalat dengan memukul kedua paha, sebagai ganti dari salam, bukankah ini termasuk penyimpangan dalam agama? Tidak adanya ucapan amin, bukankah ini adalah penyimpangan dalam agama? Lalu pemukulan mereka terhadap diri mereka sendiri, bukankah ini adalah sebuah penyimpangan dalam agama? Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan yang tidak cukup untuk disebutkan.

Akan tetapi saya katakan yang demikian, agar kaum muslimin memperhatikan realita orang-orang Syi’ah, tata cara peribadatan dan kehidupan mereka. Mereka akan menjadi yakin akan penyimpangan ini. Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menambah kecintaan kita kepada para sahabat. Kalau saja bukan karena Allah, kemudian karena mereka, dan persembahan mereka, dari berbagai pengorbanan untuk menolong agama Allah, pastilah kita menjadi para peyembah api, atau sapi, atau pohon, atau penyembah orang-orang Majusi yang mereka itu berkeyakinan akan kema’shuman orang yang menghukumi mereka sepanjang zaman, dan bahwa dia adalah bagian dari sesembahan. (AR)*

[1] Apakah ada orang muslim yang pernah punya pikiran dan berani mengatakan bahwa rumah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sumber fitnah?!! Na’udzu billah min dzalik. Jika ada yang begitu maka syiahlah orangnya. Semoga pembaca semakin tahu bahwa cinta ahlul bait hanyalah kedok untuk menipu umat islam yang lugu.


0 komentar:

Posting Komentar