Oleh: Mamduh
Farhan al-Buhairi
Syubhat: Kalian
membela ibu kalian, ‘Aisyah dengan kebatilan terhadap Nabi shallallahu
‘alaih wa aalih, sebagaimana teman kalian, al-Bukhari yang telah
menyebutkan dalam shahihnya:
أَنَّهُ أَشَارَ نَحْوَ مَسْكَنِ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا-، وَقَالَ: «هُنَا الفِتْنَةُ – ثَلاَثًا – مِنْ حَيْثُ
يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ»
“Bahwa beliau mengisyaratkan ke arah tempat tinggal ‘Aisyah
-Radhiallahu ‘Anha- seraya bersabda, ‘Di sanalah fitnah -tiga kali- dari arah
terbitnya tanduk syetan.”
Ini berarti bahwa ‘Aisyah adalah sumber fitnah.
Bantahan:
Pertama, ya, ‘Aisyah adalah ibu kami dan ibu bagi setiap
orang-orang mukmin. Adapun orang-orang munafik, dan orang-orang kafir, maka ibu
mereka adalah Ummu Jamil Si Pemikul Kayu Bakar, istri Abu Lahab.
Adapun sahabat kami, Imam al-Bukhari yang wajib bagi Anda untuk
belajar adab kesopanan saat menyebutnya, maka dia adalah seorang Imam agung,
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan rizki kepada para pengikut
agama manapun seperti yang Allah berikan kepada kaum muslimin, yaitu rizki
berupa Imam al-Bukhari yang telah mengumpulkan hadits yang shahih dari
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Anda tidak mengetahui dan
tidak akan mengetahuinya kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan
hidayah bagi Anda. Maka mudah-mudahan Allah merahmati Imam kami, al-Bukhari
dengan rahmat yang luas sekalipun dia bukanlah orang Arab, akan tetapi dia
adalah imam bagi kaum muslimin, yang Arab maupun non Arab. Seandainya kami
berada di zamannya, tidak akan menjadi lapang bagi kami kecuali menjadi
pembantu dan pelayan baginya.
Adapun jawaban saya terhadap syubhat Anda yang lemah seperti
jaring laba-laba; adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat bersabda,
«هُنَا
الفِتْنَةُ – ثَلاَثًا – مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ
الشَّيْطَانِ»
‘Di sanalah
fitnah -tiga kali- dari arah terbitnya tanduk syetan.” Beliau mengisyaratkan ke
arah rumah ‘Aisyah sebagaimana yang disifatkan oleh perawi. Sekarang
perhatikanlah dengan teliti bersama saya, wahai orang yang mahir berbahasa Arab
akan sifat yang digunakan oleh perawi. Dia berkata nahwa [نحو] dan tidak berkata ilaa[إلى]. Maka kalimat nahwa [نحو] bermakna arah, sedangkan kalimat ilaa [إلى] bermakna tempat, yang dimaksud dengan isyarat, yaitu tempat
tinggal ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Dikarenakan kalimat yang disebutkan oleh
hadits adalah nahwa [نحو]
maka maknanya adalah arah, sebab rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ada di arah
timur. Maka yang diinginkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah arah, dan
tidak bermaksud rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha (yang itu juga rumah beliau
sendiri).
Saya akan memberikan satu contoh kepada Anda, agar Anda bisa
memahami dengan mudah. Seandainya Anda sedang pergi ke pasar, lalu ada
seseorang yang bertanya kepada Anda, ‘Anda mau pergi kemana?’ Apakah Anda akan
menjawabnya dengan:
إني ذاهب إلى السوق
‘Saya akan pergi ke pasar’, ataukah anda menjawab dengan:
إني ذاهب نحو السوق؟
‘Saya akan pergi ke arah pasar?’
Yang menguatkan kebenaran ucapan kami adalah bahwa al-Bukhari
Rahimahullah telah menyebutkan dalam shahihnya riwayat lain dari hadits ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صل
الله عليه وسلم يَقُولُ: «الفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا» وَأَشَارَ إِلَى المَشْرِقِ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu
‘Anhuma, dia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Fitnah itu dari sana.’ Seraya Nabi mengisyaratkan ke arah timur.” (HR.
al-Bukhari (5296))
Maka apakah
benar mensifati tempat tinggal dengan ardh (bumi, tanah)?
Kemudian apakah benar Nabi Subhanahu wa Ta’ala mensifat tanah yang
beliau tinggal di atasnya sebagai tanah fitnah? Kemudian bahwa
tempat tinggal ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, –seandainya Anda mengetahuinya–,
adalah tempat tinggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[1]
Tahukah Anda
wahai para pembaca Qiblati, mengapa kami ingin berdialog dengan orang-orang
syi’ah memakai bahasa Arab? Ya karena sebab seperti ini dan yang lainnya. Kami
ingin orang yang berdialog bersama kami adalah orang yang berbicara bahasa
Arab. Maka bagaimana jadinya jika setiap orang Syi’ah di Indonesia tidak bagus
dan tidak berbicara bahasa Arab? Jika mereka demikian, bagaimana mungkin mereka
bisa memahami makna nahwa [نحو]
dan ilaa [إلى]
dalam bahasa Arab?
Oleh karena itulah mudah bagi orang yang memasukkan agama syi’ah
ke Indonesia untuk menipu orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Kemudian
jadilah mereka para tokoh di kalangan mereka, lalu mereka turut andil dalam
memperdayai orang-orang awam sebagaimana mereka telah terperdaya. Ini jika kami
berhusnuzhan kepada mereka.
Syubhat:
Sesungguhnya yang pasti di sisi kami bahwa ‘Aisyah dan Hafshah -mudah-mudahan
Allah meridhai keduanya- telah memerintah untuk membunuh Nabi -Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam- setelah keduanya meletakkan racun di mulut beliau. Dan Nabi
-Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- wafat sebagai akibatnya. Maka betapapun kalian
berusha untuk menutupinya, kalian tidak akan mampu mengingkarinya karena hal
itu telah diriwayatkan dalam kitab-kitab kalian!
Bantahan:
Demikianlah agama kalian wahai orang syiah berdiri di atas
kedustaan. Tidak mungkin ditemukan seorang syi’ah pun yang tidak berdusta. Oleh
karena itulah seluruh ulama bersepakat bahwa kalian itu adalah makhluk paling
pendusta. Oleh karena itu Imam Syafi’i Rahimahullah berkata tentang kalian:
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling disaksikan
kedustaannya melebihi orang-orang Rafidhah.” (Sunan al-Kubra, al-Baihaqiy
(20905))
Agar kami menjawab Anda dengan jelas, maka kami harus
mendatangkan riwayat tersebut serta menjelaskannya dengan rinci. Mudah-mudahan
Allah memberikan hidayah kepada Anda kepada agama-Nya yang hak, yang dia ridhai
bagi seluruh alam.
عن عَائِشَة رصي الله عنها قالتْ: لَدَدْنَا رَسُولَ اللَّهِ صل
الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ، وَجَعَلَ يُشِيرُ إِلَيْنَا: «لاَ تَلُدُّونِي»
قَالَ: فَقُلْنَا: كَرَاهِيَةُ المَرِيضِ بِالدَّوَاءِ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ:
«أَلَمْ أَنْهَكُمْ أَنْ تَلُدُّونِي» قَالَ: قُلْنَا: كَرَاهِيَةٌ لِلدَّوَاءِ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم: «لاَ يَبْقَى مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا
لُدَّ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَّا العَبَّاسَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَشْهَدْكُمْ»
Dari ‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha, dia berkata, ‘Kami melakukan ludud kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada saat beliau sakit, yang kemudian
menjadikan beliau memberikan isyarat kepada kami, ‘Janganlah kalian melakukan
ludud kepadaku.’ Dia berkata, ‘Maka kami jawab, ‘Ketidak sukaan orang yang
sakit kepada obat.’ Maka tatkala beliau siuman, beliau berkata, ‘Bukankah aku
telah melarang kalian agar jangan meludud aku?’ Dia berkata, ‘Maka
kami katakan, ‘Ketidak sukaan pada obat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali diludud,
dan aku melihat kepada al-Abbas, karena dia tidak menyaksikan kalian.’ (HR.
al-Bukhari Muslim)
Ludud adalah obat yang dituangkan di salah satu kedua sisi mulut
orang yang sakit.
Sekarang kita ingin dari setiap orang berakal untuk mengikuti
bantahan ini dengan baik, kemudian menghukuminya dengan akalnya agar bisa
mengetahui bagaimana kezhaliman orang-orang Rafidhah ini kepada Ibu kita,
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha.
Pertama, ludud itu
adalah pengobatan, maka bagaimana syi’ah mengetahui komposisi obat yang
diletakkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tersebut? Dan bagaimana mereka tahu bahwa itu adalah racun?!
Kedua, sesungguhnya orang yang menukil kejadian itu kepada kaum
muslimin adalah ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha sendiri, maka bagaimana dia menukil
untuk kaum muslimin pembunuhannya terhadap Nabi, suami dan kekasinya
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Ketiga, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan obat
yang sama pada setiap mulut orang yang ada di kamar tersebut dari para
ummahatul mukminin, kecuali al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu, lalu mengapa beliau
yang wafat darinya, dan mereka semua tidak mati?!
Keempat, mengapa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengabarkan kepada paman beliau,
al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu dengan apa yang mereka perbuat; yaitu meletakkan
racun di mulutnya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dia meminta qishash dari
orang yang membunuh beliau? Jika Anda sekalian berkata: Nabi telah
memberitahunya, maka di manakah dalil akan pemberitahuan itu? Jika Anda
sekalian mengatakan bahwa dia belum memberitahukannya, ‘Maka bagaimana kalian
mengetahui bahwa ludud itu adalah racun, bukan obat, sementara
al-‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu sendiri tidak mengetahuinya?!
Kelima, obat tersebut tidak diberikan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tanpa ada sebab, bahkan obat itu diberikan karena sakit
beliau.
Keenam, obat tersebut tidak diberikan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kecuali setelah istri-istri beliau -mudah-mudahan Allah
meridhai mereka semua- bermusyawarah tentang pemberian obat tersebut. Dan ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (45/460), dishahihkan oleh
al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah (3339).
Ketujuh, racun yang diletakkan oleh wanita Yahudi di makanan
yang dihidangkan untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibongkar oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan kambing tersebut memberitakan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa daging kambing itu diberi racun. Lalu mengapa hal itu
(yaitu pemberitahuan oleh Allah) tidak terjadi pada racun yang diletakkan oleh
‘Aisyah di mulut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Yang mengherankan, sebagian orang-orang Rafidhah mengingkari
riwayat ini. lalu mereka membebaskan orang Yahudi tersebut dari perbuatan
rendah itu, padahal riwayatnya mutawatir, dan sanadnya shahih, dan sekalipun
Allah telah memberitakan bahwa Yahudi telah membunuh para Nabi, sekalipun
demikian Rafidhah melepaskan mereka. Tidak samar atas orang yang meneliti sebab
pembelaan Rafidhah terhadap orang Yahudi adalah karena pendiri sekte ini adalah
‘Abdullah bin Saba`, si Yahudi. Maka menjadi lumrah seorang Yahudi dilepaskan
sekali pun riwayat tersebut shahih, lalu melekatkan tuduhan kepada para sahabat
yang agung tanpa adanya sanad shahih, tidak juga dha’if!!
Kedelapan, termasuk perkara yang jelas dalam riwayat tersebut
adalah bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memahami
bahwa larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk tidak meludud beliau
itu adalah larangan syar’i. bahkan mereka memahaminya bahwa itu sekedar ketidak
sukaan orang sakit kepada obat. Dan pemahaman mereka ini bukanlah sesuatu yang
diingkari secara lahirnya. Sungguh mereka telah berterus terang, –sekalipun
mereka tidak punya udzur di sisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena
hukum asalnya adalah memenuhi perintah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam–,
bahwa mereka telah berbuat salah dalam mendiagnosa obat beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan mereka telah memberikan kepada beliau obat yang tidak
sesuai dengan sakit beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al-Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak berobat
hanyalah karena obat tersebut tidak cocok dengan penyakit beliau.’ (Fathul
Bari, 8/147-148)
Oleh karena itu
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajari mereka. Al-Hafizh Ibnu Hajar
Rahimahullah berkata, ‘Yang tampak bahwa beliau ingin mendidik mereka
dengannya, agar mereka tidak mengulanginya. Dan itu adalah pendidikan kepada
mereka, bukan qishash, tidak juga balasan.’ (Fathul Bari, 8/147)
Setelah jawaban ini, saya katakan sekali lagi, mudah-mudahan
Allah merahmati Imam Syafi’i yang telah berkata tentang Anda sekalian, ‘Aku
tidak melihat seorang pun yang paling disaksikan kedustaannya melebihi
orang-orang Rafidhah.’
Syubhat:
Anda sekalian
tidak menyetujui pengamalan bid’ah sebagaimana Anda klaim. Jika demikian maka
mengapa Anda menyetujui khalifah kalian, ‘Utsman -mudah-mudahan Allah
meridhainya-, yang telah mengadakan satu adzan tambahan pada hari Jum’at atas
adzan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalih, dan setiap
bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu berada dalam neraka. Jadi orang yang
mengadakan bid’ah ini dan mengamalkannya berada dalam neraka?!
Jawab:
Sebenarnya, Anda bisa bertanya tanpa beradab buruk terhadap sebaik-baik makhluk
Allah setelah para Nabi. ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu bukanlah khalifah kami saja,
akan tetapi dia adalah khalifah kaum muslimin, dan secara pasti Anda setuju
dengan saya bahwa dia tidak akan pernah menjadi khalifah bagi orang-orang
Yahudi dan Majusi.
Kemudian, Anda
harus mengetahui, bahwa ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu kala itu ada saat ‘Utsman
Radhiallahu ‘Anhu memerintahkan untuk menambah adzan tambahan. Lalu mengapa
‘Ali tidak mengingkarinya pada dia adalahal-Washiyl Ma’shum (yang
diberi wasiat lagi yang terjaga dari kesalahan) sebagaimana yang Anda sekalian
katakan? Maka bagaimana ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu ridha dengan adzan tambahan
tersebut, serta diam, dan tidak mengingkari ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu?
Kemudian mengapa, setelah ‘Ali menjadi khalifah dan memimpin
urusan kaum muslimin, dia tidak mengeluarkan perintah untuk menghilangkan adzan
tambahan itu dari seluruh negeri?
Jadi, berdasarkan apa yang Anda katakan, jadilah ‘Ali
Radhiallahu ‘Anhu turut andil dalam meneruskan kebid’ahan ini. Atas dasar ini,
apakah layak ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu disifati dengan statemen yang telah Anda
keluarkan dalam pertanyaan Anda (tentang Khalifah Usman tadi), yang tidak layak
bagi saya untuk mengulanginya?!!
Seandainya Anda
mengenal sejarah dengan baik, pastilah Anda tahu bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu
mengingkari ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu atas kepemimpinan sebagian pegawainya.
Maka seandainya adzan tambahan itu dikategorikan oleh ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu
sebagai sebuah bid’ah, pastilah dia akan mengingkarinya, dan tentunya itu lebih
ringan daripada pengingkarannya terhadap para pegawainya. Ini adalah sebuah
dalil atas disukainya apa yang dilakukan oleh ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu dengan
perintahnya untuk adzan pertama. Sesungguhnya diamnya para sahabat Radhiallahu
‘Anhum adalah ijma’ sukuti (kesepakatan dengan diam tidak
berkomentar), dimana tidak pernah disebutkan pengingkaran salah seorang dari
para sahabat terhadap ‘Utsman, maka jadilah itu sebagai ijma’ sukutiy.
Kemudian, sesungguhnya perbuatan khalifah ‘Utsman Radhiallahu
‘Anhu memiliki sanad dan hujjah dengan apa yang telah shahih dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
»..فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا
بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ..«
“… maka pegangilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin,
pegang teguhlah dengannya, dan gigitlah dengan gigi geraham…” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan at-Turmudzi)
Sisi argumentasinya dari hadits tersebut adalah bahwa kita
diperintah untuk mengikuti sunnah khulafa`ur rasyidin, dan ‘Utsman Radhiallahu
‘Anhu adalah termasuk bagian dari mereka, maka jadilah apa yang dia sunnahkan,
yaitu adzan pertama sebagai adzan syar’i.
Kemudian, sesungguhnya perbuatan ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu,
adalah untuk satu kemaslahatan; setelah jarak rumah-rumah itu jauh, lalu luas
kota menjadi besar. Dia memerintahkan adzan pertama agar bisa sampai kepada seluruh
manusia. Seandainya bukan karena maslahat ini, maka pastilah ‘Utsman
Radhiallahu ‘Anhu tidak akan menambah atas sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Para ulama ahlussunnah wal jama’ah, telah berselisih pendapat
tentang diteruskannya adzan ini, terutama setelah perkembangan teknologi dan
keberadaan pengeras suara. Maka sebagian mereka berpendapat untuk kembali
kepada satu adzan saja, yaitu pada saat khatib naik ke mimbar sepanjang alasan
yang digunakan oleh ‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu untuk menambah adzan kedua telah
hilang. Dan saya tidak ingin memperluas cabang ini, karena ini bukan inti
permasalahan.
Sekarang, permasalahannya adalah bahwa Anda sekalian wahai kaum
Syi’ah ingin menjadi kaum yang lebih ma’shum daripada imam kalian yang ma’shum
sebagaimana yang kalian yakini. Dia, ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu, tidak mengingkari
hal ini, tapi kalian mengingkarinya. Ini berarti bahwa Anda sekalian lebih
faham terhadap agama ini daripadanya. Maka jika dia dulu telah diam, lalu
mengapa Anda sekalian tidak diam jika kalian mengaku mengikutinya? Saya memohon
kepada Allah agar menjauhkan kaum muslimin dari keburukan Anda sekalian.
Kepada kaum
muslimin secara umum: Dalam syubhat ini dan banyak lainnya, Anda bisa
memperhatikan buruk sangkanya Syi’ah terhadap para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.
Mereka mena`wilkan seluruh tindakan dan perkataan para sahabat kepada sesuatu
yang lain. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka dengan buruk sangka
mereka terhadap makhluk terbersih dan terbaik setelah para Nabi dan Rasul
dengan manjadikan mereka menyimpang dari agama ini. Sungguh, buruk sangka
mereka terhadap para sahabat telah menghantarkan mereka kepada penyimpangan
akal mereka, dan kelainan keberagamaan mereka. Sesungguhnya saya katakan -wallahu
a’lam- bahwa ini adalah hukuman Allah kepada orang-orang Syi’ah di
dunia, sebelum di akhirat.
Seandainya Anda
memperhatikan keadaan mereka dalam beribadah, pastilah Anda akan tahu makna
penyimpangan yang saya maksudkan. Shalat mereka di atas tanah al-Husainiyyah,
bukankah ini termasuk sebuah penyimpangan dalam agama? Keluarnya mereka dari
shalat dengan memukul kedua paha, sebagai ganti dari salam, bukankah ini
termasuk penyimpangan dalam agama? Tidak adanya ucapan amin, bukankah ini
adalah penyimpangan dalam agama? Lalu pemukulan mereka terhadap diri mereka
sendiri, bukankah ini adalah sebuah penyimpangan dalam agama? Dan masih banyak
lagi penyimpangan-penyimpangan yang tidak cukup untuk disebutkan.
Akan tetapi saya katakan yang demikian, agar kaum muslimin
memperhatikan realita orang-orang Syi’ah, tata cara peribadatan dan kehidupan
mereka. Mereka akan menjadi yakin akan penyimpangan ini. Kami memohon kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menambah kecintaan kita kepada para sahabat.
Kalau saja bukan karena Allah, kemudian karena mereka, dan persembahan mereka,
dari berbagai pengorbanan untuk menolong agama Allah, pastilah kita menjadi
para peyembah api, atau sapi, atau pohon, atau penyembah orang-orang Majusi
yang mereka itu berkeyakinan akan kema’shuman orang yang menghukumi mereka
sepanjang zaman, dan bahwa dia adalah bagian dari sesembahan. (AR)*
[1] Apakah
ada orang muslim yang pernah punya pikiran dan berani mengatakan bahwa rumah
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sumber fitnah?!! Na’udzu
billah min dzalik. Jika ada yang begitu maka syiahlah orangnya. Semoga
pembaca semakin tahu bahwa cinta ahlul bait hanyalah kedok untuk menipu umat
islam yang lugu.
Sumber : http://qiblati.com
0 komentar:
Posting Komentar