Selasa, 16 April 2013

Shalat 2 Rakaat, Iftrasy atau Tawarruk?

Filled under:



Tanya:
Assalamu ‘alaikum wwb.
Ustadz ‘afwan ana mau tanya dalil yang menerangkan shalat yang dua roka’at dengan duduk iftirosy ?
A. Fakhri [mamat.rahmat57@yahoo.coom]

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah.

Ya benar, ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa pada shalat yang dua rakaat, duduk tasyahudnya adalah duduk iftirasy yaitu kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. 

Di antaranya adalah hadits Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu anhu dia berkata:

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan.”(HR. Ibnu Hibban: 5/370/no.1943, sebagaimana dalam Al-Ihsan)
 
Semakna dengannya hadits Wail bin Hujr riwayat An-Nasai no. 1158 dengan sanad yang shahih.

Hanya saja, hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa semua shalat yang 2 rakaat, maka duduk tasyahudnya adalah iftirasy. Hal itu dikarenakan 2 alasan:

1.    Menjadikan angka yang tersebut pada hadits di atas (yaitu angka 2) untuk menunjukkan suatu hukum (mafhum al-'adad) adalah metode berdalil yang lemah di kalangan ushuliyin. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath Al-Bari (3/146), “Yang benarnya, makna yang ditunjukkan oleh suatu angka/ bilangan bukanlah makna yang meyakinkan, namun hanya bersifat kemungkinan.”
 
Maksudnya, penyebutan angka 2 di sini tidak bisa dipahami bahwa shalat yang dua rakaat harus diakhiri dengan duduk iftirasy, karena adanya kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan rakaat kedua dalam hadits tersebut adalah rakaat kedua dari shalat yang 4 rakaat.

Dan ada sebuah kaidah di kalangan ushuliyin yang berbunyi, “Jika pada makna sebuah dalil terdapat lebih dari satu kemungkinan yang saling bertentangan dan sama kuatnya, maka tidak diperbolehkan untuk berdalil dengannya.

Maka kalimat ‘dua rakaat’ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair dan Wail bin Hujr di atas mengandung dua kemungkinan yang sama kuat, yaitu: Dua rakaat pada shalat yang dua rakaat dan dua rakaat pada shalat yang empat rakaat. Karenanya tidak bisa berdalil dengannya.

2.    Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa kalimat ‘dua rakaat’ dalam hadits di atas masih bersifat mutlak atau masih bersifat mujmal

Dan ada riwayat lain yang mengikat dan merinci kalimat tersebut, bahwa yang dimaksud dengannya adalah dua rakaat pada shalat yang empat rakaat, bukan pada shalat yang dua rakaat. 

Di antara riwayat tersebut adalah hadits Rifa’ah bin Rafi radhiallahu anhu secara marfu’:

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
 
“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat (rakaat kedua), maka thuma’ninahlah, dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud.” 
(HR. Abu Dawud dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani. Lihat kitab: Ashlu Shifah Ash-Shalaah, Al-Albani: 3/831-832)
 
Dan juga hadits Abu Humaid As-Saidi radhiallahu anhu dia berkata:

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
 
”Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk di atas tanah (duduk tawarruk).”(HR. Al-Bukhari: 2/828)
 
Maka perhatikan lafazh فِي الرَّكْعَتَيْنِ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair dengan hadits Abu Humaid di atas, niscaya kita bisa mengetahui kalau yang dimaksud dengan ‘dua rakaat’ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair adalah rakaat kedua dari 4 rakaat, bukan shalat yang dua rakaat. Wallahu a’lam.

Jadi kesimpulannya, hadits Abdullah bin Az-Zubair dan Wail bin Hujr di atas tidak menunjukkan bahwa semua shalat yang dua rakaat maka duduk tasyahudnya adalah duduk iftirasy.

Sekarang masalahnya, bagaimana cara duduk pada duduk tasyahud akhir pada shalat yang 2 rakaat -seperti shalat subuh dan shalat-shalat sunnah-?
 
Jawab:
Lahiriah hadits Abu Humaid di atas menunjukkan bahwa semua duduk tahiyat akhir -yaitu duduk tahiyat yang setelahnya salam- adalah duduk tawarruk, baik dia shalat yang 4 rakaat, 3 rakaat, 2 rakaat, atau 1 rakaat

Hal ini juga ditunjukkan dalam riwayat-riwayat lain hadits Abu Humaid ini, di antaranya:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ
 
”Jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”, yakni beliau tawarruk. 
Riwayat ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath.
 
Dalam riwayat Ibnu Hibban:

الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَر
 
”(Raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan duduk dengan tawarruk (panggul) di atas sisi kirinya.” 
Dalam riwayat Ibnu Al-Jarud no. 192:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَر
 
“Sehingga pada duduk yang padanya terdapat salam, maka beliau mengeluarkan kaki kirinya dan duduk dengan tawarruk (panggul) di atas sisi kirinya.” 
Dan dalam riwayat At-Tirmidzi no. 304 dan Ahmad: 5/424:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ
 
“Sehingga pada raka’at yang shalat berakhir padanya.”
Maka semua lafazh ini tegas menunjukkan bahwa cara duduk pada duduk tasyahud yang setelahnya salam atau tasyahud akhir adalah tawarruk, baik dia 1 rakaat, 2 rakaat, 3 rakaat, maupun 4 rakaat.

Inilah pendapat yang kami pilih dan inilah pendapat yang paling tepat insya Allah. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i beserta semua murid-murid beliau, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm rahimahullah.

Posted By Dzaky Moebarak11.09

Rabu, 10 April 2013

The Most Annoying Sound : Klakson!

Filled under:

20130407-044118.jpg

Paling sebal kalau berada di deretan depan traffic light. Begitu lampu berubah dari merah menjadi hijau, detik berikutnya yang langsung terdengar adalah suara klakson. OK, jadi kalau di depan saya ada mobil lain atau motor, saya mesti terbang gitu?

Anda boleh membela siapa tahu yang mengklakson itu untuk mengingatkan kita supaya sadar dari lamunan. Tapi, hei, siapa sih yang tidak ingin cepat lolos dari antrian? Jadi kalau ada orang melamun, mestinya hanya sedikit, dan itupun sudah kebangetan (memilih tempat melamun kok di jalan).

Entah apakah sudah jadi budaya di kota-kota besar di Indonesia, bahwa klakson WAJIB digunakan meskipun tanpa alasan. Refleks saja, begitu warna lampu berubah, tangan rasanya gatal memencet tombol klakson.

Di negara maju, klakson digunakan untuk memperingatkan pengendara yang kurang tertib atau diprediksi akan menyebabkan kecelakaan. Tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, klakson berfungsi sebagai alat pemberitahuan bahwa kendaraan kita akan lewat, mengingatkan akan adanya kemungkinan bahaya, ingin mendahului, memberitahu penumpang untuk naik (untuk angkutan umum) atau menyatakan perasaan emosional. 

Pas betul dengan asal kata klakson yang berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu klazo, yang artinya menjerit. Jadi sering mengklakson sama dengan sering menjerit :)

Kalau begitu klakson dilarang dibunyikan? Ya jangan. Seperti yang saya tuliskan di atas, klaksonpun ada gunanya. Kalau akan menyalip kendaraan, atau ada kendaraan yang memotong dengan tidak sopannya, atau berjalan lambat di tengah, pasti saya klakson. Karena kemungkinannya dia sedang sibuk dengan gadgetnya, merokok santai, atau sedang cari alamat tapi lupa minggir. 

Jadi klakson fungsinya untuk mengingatkan.

Atau friendly horn (bukan ‘teman yang nafsu’ lo :P) ketika bertemu teman di jalan. Friendly horn cara membunyikannya beda dengan mengklakson karena emosi. Biasanya pendek-pendek dan tidak terlalu keras suaranya. Atau saat berada di tikungan yang tidak kelihatan lawannya ada atau tidak, saya bunyikan klakson sebagai pertanda saya mau lewat. Tapi ‘haram’ melakukan ini di gang atau jalan kecil, kalau tidak mau dipelototi banyak orang, seberapapun lambatnya gerobak/becak/sepeda/pejalan kaki yang ada di depan saya. Ada juga yang membunyikan klakson terkait dengan ‘ijin’ untuk melewati suatu tempat. 

Wah, bahkan mahluk lainpun senang dengan klakson :)
Aturan yang mestinya diterapkan untuk klakson ini adalah bunyi klakson harus disesuaikan dengan ukuran kendaraannya. Jadi jangan sepeda motor menggunakan klakson truk, bikin kaget saja. Dan tentunya tertipu, karena mengira yang akan lewat truk besar. Jangan salah lo, ada yang terjatuh dari sepeda motornya karena kaget mendengar bunyi klakson truk dari arah belakang, dan kedengarannya dekat sekali.

Tuli gara-gara klakson, belum pernah saya dengar. Tapi ada potensi, karena suara klakson mobil ukurannya 110 desibel, sedangkan manusia  beresiko kehilangan pendengaran ketika mendengar suara lebih dari 85 desibel (tergantung jarak dan jangka waktu mendengarnya). Kemudian pengendara juga dilarang membunyikan klakson di depan rumah ibadah dan pemukiman (kalau ini jarang diikuti, karena di Indonesia klakson digunakan untuk memanggil asisten RT atau satpam, untuk membukakan pintu pagar).

Jadilah pengendara yang baik, gunakan klakson bila perlu, dan utamakan friendly horn.

Source: kompasiana.com

Posted By Dzaky Moebarak14.25