Bantahan Syubhat Syi’ah
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Sebagai
perubahan, kami memilih beberapa macam syubhat berbeda pada edisi ini. Saya
memohon kepada Allah, agar bantahan-bantahan ini mendapatkan keridhaan Allah,
kemudian keridhaan Anda sekalian.
Penanya: Kayfa
alhal Qiblati yang makin mendebarkan? Afwan mau nanya, Orang-orang syi’ah
sering menjadikan surah al-Jumu’ah nutuk menghujat bahwa para sahabat telah
menzalimi Rasulullah dengan meninggalkannya sendirian ketika sementara
berkhutbah, tolong dijelaskn pemahaman yang benar tentang ayat tersbut..syukron
!! +628***1248***
Jawab: Saya
berterima kasih atas pujian Anda, dan kami memohon kepada Allah agar kami
berada pada kebaikan yang Anda persangkakan.
Pertama, yang harus Anda ketahui adalah sebab turunnya ayat Jum’at, zaman,
serta kondisi lingkungan yang mengitarinya, agar Anda bisa memahami
permasalahan ini dengan benar. Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kala itu tengah berkhutbah di atas mimbar pada
hari Jum’at, tiba-tiba datanglah kafilah dagang yang membawa makanan dari
perniagaan Syam.
Kemudian dipukullah genderang agar manusia mengetahui
kedatangannya. Sementara manusia pada zaman itu hidup dalam kerasnya kehidupan,
maka mereka pun keluar dan tidak tersisa di dalam masjid melainkan dua belas
orang, di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar, maka turunlah ayat:
وَإِذَا
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ
مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ
الرَّازِقِينَ (١١)
“Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang
di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,” dan Allah
sebaik-baik pemberi rezki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11)
Sesungguhnya
khutbah ini, yang mereka telah keluar darinya adalah khutbah setelah mereka
melakukan shalat Jum’at, di mana kala itu shalat Jum’at seperti shalat dua hari
raya, yaitu shalat lebih dulu, baru kemudian khutbah. Maka di saat manusia
keluar, mereka menyangka bahwa tidak masalah meninggalkan khutbah Jum’at. Maka
Allah menurunkan ayat tersebut. Abu Dawud, al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Imam
Nawawi dalam syarah Shahih Muslim dan selain mereka telah menguatkan hal
tersebut.
Kejadian ini
terjadi sebelum bermulanya zaman hijrah, dan adab-adab syar’i belum sempurna,
sebagaimana para sahabat besar seperti Abu Bakar, dan Umar berdiri di sisi
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu telah tetap di dalam
hadits-hadits shahih.
Larangan syar’i ini belum ada sebelumnya, maka tatkala turun ayat Jum’at,
mereka baru memahami tercelanya hal tersebut. Maka mereka pun menjauhinya, dan
tidak pernah sama sekali mengulanginya. Bahkan mereka adalah orang yang menjaga
praktek hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan syar’i ini.
Hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka dengan sebaik-baik sifat:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali ‘Imran:
110)
Maka di manakah
Syi’ah dari pujian agung ini, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai
pujian itu untuk generasi para sahabat yang mulia? Dan dikarenakan Syi’ah
Ekstrim termasuk seburuk-buruk makhluk, maka mereka menjadikan pandangan mereka
tertuju pada perkara pertama yang terjadi hanya sekali, dan tidak menoleh
kepada perkara kedua yang dipraktekkan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan
yang mereka laksanakan sepanjang hidup mereka, dan mereka mati di atasnya;
mereka berdiri di sisi perintah-perintah Allah, dan larangan-larangan-Nya. Dan
telah diketahui bahwa hukum-hukum Islam tidak turun sekali saja, melainkan
turun secara berangsung-angsur. Dan datanglah sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dengan berangsur-angsur sebagai bentuk kemudahan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala, untuk para hamba-Nya dalam perkara yang disyari’atkan untuk mereka,
baik itu berupa pembolehan atau pengharaman.
Maka pada saat
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan berbagai kewajiban atas para hamba-Nya,
seperti shalat, puasa, dan zakat, Allah wajibkan itu semua di atas beberapa
fase, dan tingkatan-tingkatan hingga selesailah kewajiban-kewajiban itu pada
bentuk yang terakhir.
Shalat, awal kalinya diwajibkan dua rakaat-dua rakaat, kemudian jumlah ini
ditetapkan pada waktu safar, lalu ditambah pada waktu mukim menjadi empat
rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar, dan ‘Isya`. Puasa, awal kali diwajibkan di atas
pilihan, siapa yang mau maka dia berpuasa, dan siapa yang mau maka dia boleh
berbuka dan membayar fidyah; yaitu memberi makan seorang miskin setiap hari dia
berbuka. Zakat, diawajibkan pertama kali di Makkah secara mutlak, tanpa ada
batasan, tidak juga diikat dengan nishab dan kadarnya. Bahkan dibiarkan untuk
hati nurani orang-orang mukmin dan kebutuhan masyarakat dan individu, hingga
zakat itu diwajibkan atas harta yang mencapai nishab dan kadar di Madinah.
Perkara-perkara
yang diharamkan pun demikian, tidaklah datang pengharamannya secara sekaligus,
secara serentak. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui ukuran
penguasaannya atas jiwa-jiwa, serta penetrasinya ke dalam kehidupan individu
dan sodial. Maka bukanlah termasuk hikmah menyapih manusia darinya dengan
perintah langsung yang dikeluarkan bagi mereka. Tiada lain yang hikmah adalah
menyiapkan mereka secara kejiwaan, dan pemikiran untuk menerimanya. Kemudian
membawa mereka dengan aturan tahapan dalam mengharamkannya. Hingga jika datang
perintah penentu, mereka sudah siap secara nyata dan emosional untuk
melaksanakannya seraya mengatakan, ‘Kami mendengar, kami patuh.’
Dan diantara
contoh paling jelas, yang menguatkan hal ini adalah pengharaman riba dan khomer
yang berjenjang sebagaimana diketahui dalam sejarah pensyariatan Islam. Hingga
turun ayat-ayat penentu dalam pelarangan darinya. Diantaranya adalah dari surat
al-Maidah, yang penutupnya adalah:
فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“…Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 91)
Dari sini, turunlahlah
al-Qur`an kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara bertahap
selama dua puluh tiga tahun. Akan tetapi Syi’ah, dengan pengingkaran mereka
terhadap sikap meninggalkan khutbah yang dilakukan oleh manusia kala itu, tiada
lain itu adalah sebuah ungkapan akan ketidak berimannya mereka terhadap tahapan
ini. Maka dengan hal ini, mereka bersesuaian dengan orang-orang kafir yang
mengingkari turunnya al-Qur`an yang berangsur-angsur. Maka berfirmanlah Allah
Subhanahu wa Ta’ala tentang sifat mereka:
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)
Maka
bayangkanlah bersama saya, seandainya Anda adalah seorang pengajar SD, apakah
Anda ingin agar murid-murid Anda berada di tingkat mahasiswa perguruan tinggi?
Dengan yakin tidak. Maka kekurangan seorang murid pada satu atau dua pelajaran
tidak berarti bahwa ia tidak akan memahami hal tersebut pada masa mendatang
dengan terusnya pelajaran dan arahan. Dan inilah kondisi para sahabat Radhiallahu
‘Anhum bersama pengajar mereka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang
bertahap dalam mendidik dan mengajari mereka. Sesungguhnya orang yang
mencemarkan para sahabat, maka dia pada hakikatnya mencemarkan pengajar mereka,
dan menuduhnya gagal dalam mendidik dan mengajari mereka. Sekali-kali tidak
demikian.
Maka apakah Anda
mengetahui siapakah mereka yang dituduh oleh Syi’ah dalam syubhat ini dan
lainnya? Mereka adalah orang-orang yang telah mempersembahkan darah mereka
dengan murah untuk meninggikan kalimat Allah. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang telah memerangi bapak-bapak mereka, dan saudara-saudara mereka
demi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apakah Anda
mengetahui siapakah mereka, yang syi’ah membenci mereka? Sesungguhnya mereka adalah
orang yang telah menebus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan
darah-darah mereka, dan membela serta melindungi beliau dengan arwah mereka.
Apakah Anda mengetahui siapakah mereka yang Syi’ah dan orang-orang yang sepaham
dengan syi’ah menjelek-jelekkan mereka? Sesungguhnya mereka adalah orang yang
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhasil mendidik mereka. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan legitimasi-Nya yang kekal berkaitan dengan hak
mereka, yang terus dibaca hingga hari kiamat.
وَالسَّابِقُونَ
الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Perhatikanlah, bagaimana pada waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiapkan sorga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai untuk para sahabat Radhiallahu ‘Anhum,
dan mereka akan kekal di dalamnya, orang Syi’ah malah menuduh dan mencaci hak
mereka, serta menjadikan mereka sebagai orang-orang kafir, terlaknat dan kekal
di dalam neraka, wal’iyadzu billah.
Dan termasuk
perkara yang mengherankan adalah bahwa Syi’ah menuduh para sahabat dengan
hujjah kecintaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka telah
menyebutkan dalam kitab-kitab mereka berbagai tuduhan dan kelancangan yang
tidak layak terhadap hak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarga
beliau. Tetapi ini bukanlah tempat untuk merincinya.
Sesungguhnya di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, …” (QS. Ali ‘Imran: 110) Ada
sebuah dalil yang jelas atas keadilan para sahabat bagi umat ini atas seluruh
umat sebelumnya. Dikarenakan orang pertama kali yang masuk dalam kebaikan ini
adalah orang yang diajak bicara waktu itu dengan kandungan arah pembicaraan
ayat tersebut di saat turunnya.
Akan tetapi, apa
yang bisa kita lakukan terhadap akal-akal sakit, dan hati-hati dengki yang
ingin menghisab (menilai dan menghitung) para ulama besar atas sebagian prilaku
mereka saat mereka berada pada masa SD?
Sebagaimana
kebiasaan, kami menjatuhkan Syi’ah pada keburukan amal-amal mereka, dan kami
katakan kepada mereka, ‘Sepanjang Anda sekalian bertumpu pada ahlissunnah dalam
riwayat hadits ini, maka Anda harus menerima riwayat tersebut sebagaimana
adanya, atau meninggalkannya sebagaimana adanya. Jika Anda menerima, maka akan
kami katakan bahwa perawi hadits itu, yaitu Jabir bin ‘Abdillah, menyebut bahwa
dia termasuk dua belas orang yang tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan dia menyebutkan, di antara orang-orang tetap tinggal dan
tidak keluar adalah Abu Bakar dan ‘Umar. Seandainya kita mengalah, bahwa
kesembilan orang sisa itu adalah termasuk ahlul bait, maka apakah masuk akal, tetap
tinggal sembilan orang diantara mereka, sementara puluhan yang lain keluar
bersama manusia?!
Ini adalah sikap
mengalah dari saya, jika tidak, maka sungguh telah disebut nama-nama kedua
belas orang yang tetap tinggal bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada
hadits mursal yang diriwayatkan oleh Asad bin ‘Amr, bahwa orang yang tersisa,
ditambah oleh Jabir bin ‘Abdillah, adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali,
Thalhah, az-Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah
ibn al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, dan Bilal. Dalam riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud,
dan riwayat lain terdapat ‘Ammar bin Yasir, dan kedua riwayat terakhir ini
menyebut bahwa jumlah mereka adalah tiga belas orang.
Jadi, tidak
tersisa dari ahlul bait kecuali ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu. Maka jika Syi’ah
menilai bahwa keluarnya para sahabat adalah sebuah cacad atas mereka, dan
akhlak buruk mereka sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri
berkhutbah, maka sesungguhnya yang demikian itu lebih keras lagi pukulannya
terhadap ahlul bait.
Saya cukupkan
ini saja, didalamnya sudah ada kecukupan, dan saya berterima kasih atas
hubungan ini, dan saya memohon kepada Allah, agar mengumpulkan saya, Anda, dan
seluruh orang yang mencintai para sahabat Radhiallahu ‘Anhum di Firdaus yang
tertinggi di sorga. Amin.*
Syubhat: Syi’ah
mempedomani imam Ali, Hasan, Husain dan 9 keturunan Imam Husain. Dari 12 imam
itulah hadits-hadits Syiah diambil. Memang syiah hanya mempedomani sebagian
hadis sunni karena sebagian lagi dianggap rekayasa penguasa. Prof. Dr. Quraish
shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan
mazhab syi’ah tidak sesat. +628***2493***
Jawab: Dalam
perkara yang mengkhususkan satu sisi, yaitu bahwa Syi’ah mengambil
hadits-haditsnya dari para Imam, maka sungguh Anda telah mencukupi bantahan
saya, dan Anda sendiri telah membatalkan agama Syi’ah tanpa Anda ketahui.
Karena memang tidak ditemukan dari mereka ilmu hadits, dan barangkali Anda
kembali kepada makalah saya pada edisi yang lalu, dan edisi ini, yaitu tentang
ilmu hadits pada Syi’ah. Anda akan menyingkap sendiri hakikat itu tanpa
kesulitan. Dan saya berharap agar Anda mengikuti edisi-edisi mendatang dengan
izin Allah, agar Anda bisa menyingkap tambahan-tambahan informasi dan ilmu yang
mengagetkan, dan dengan yakin bahwa perkara yang mengagetkan itu bukanlah
sebuah rahasia bagi Syi’ah.
Adapun ucapan
Anda bahwa Syi’ah berpedoman pada kesembilan Imam dari keturunan al-Husain
Radhiallahu ‘Anhu, maka Anda juga telah membatalkan agama Syi’ah tanpa
Anda rasakan. Mengapa kesembilan Imam tersebut tidak dari keturunan
al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Sementara beliau adalah lebih tua dari al-Husain
Radhiallahu ‘Anhu? Maka manakah dalil atas pengangkatan Allah Subhanahu wa
Ta’ala bagi anak-anak al-Husain Radhiallahu ‘Anhu, tanpa anak-anak al-Hasan
Radhiallahu ‘Anhu? Kami menginginkan dalil dari al-Qur`an, karena ini adalah
aqidah dan satu pokok dari pokok-pokok agama. Satu pokok agama haruslah dari
dalil yang qath’iy yang di dalamnya tidak ada ruang kemungkinan. Karena suatu
dalil, jika disebutkan suatu kemungkinan di dalamnya, maka batallah berdalil
dengannya.
Kemudian
bertanyalah pada diri Anda sendiri pertanyaan ini yang Anda tidak akan
menemukan jawabannya pada Syi’ah; yaitu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menentukan para Imam dari keturunan al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Bukankah dia
yang sulung? Maka bagaimana Syi’ah menjadikan syarat pengangkatan Imam adalah
putra sulung dari keturunan al-Husain, yaitu bahwa Imam setelah al-Husain
adalah putra sulungnya, dan putra sulung ini diganti oleh putra sulungnya, dan
demikian seterusnya…
Jika memang
demikian, maka mengapa imamah tidak jatuh kepada putra sulung Ali, yaitu
al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Pertanyaan dalam sisi ini sangat banyak, dan
pembicaraan di dalamnya tidak akan pernah berhenti di atas angan-angan. Kami
menunggu seseorang yang maju berdialog bersama kami.
Akan tetapi saya
mengajak Anda untuk melihat ke dalam Biharul Anwar (45/329), oleh al-Majlisi,
cet. Muassasah al-Wafa`, Beirut (Cet. II, 1403), dan rujukan lainnya, bahwa
pengagungan keturunan al-Husain, bukan keturunan al-Hasan, karena orang-orang
Persia adalah paman-paman mereka, karena keberadaan istri al-Husain adalah
Putri Yazdajir, orang Persia, dan beragama Majusi.
Adapun berkenaan
dengan tokoh-tokoh di Indonesia yang tercinta, dan bersamaan dengan ketidak
tahuanku jika ada di antara tokoh-tokoh itu adalah seorang Syi’ah atau Liberal,
atau tidak, maka sesungguhnya saya mulai sebuah pertanyaan kepada Anda; ‘Apakah
Anda mengambil agama Anda dari “Allah berfirman, Rasul-Nya bersabda” ataukah
dari “Fulan berkata, dan Fulan berkata”?!
Orang yang telah
Anda sebutkan, bersamaan dengan penghormatan saya kepada mereka, mereka
bukanlah para ulama Syari’ah, tidak juga orang-orang yang ahli. Keberadaan
mereka dikenal di masyarakat tidak berarti bahwa kita menjadikan apa yang
mereka katakan sebagai sebuah hukum atas kitabullah, dan sunnah Nabi-Nya.
Bahkan kita jadikan Kitabullah, Sunnah Nabi-Nya lah yang menghukumi kita dan
mereka, dan setiap orang yang berselisih. Jika benar ucapan mereka yang datang
di dalam pertanyaan Anda, maka tidaklah mereka menjadi orang pertama dan
terakhir yang berbicara tanpa ilmu dalam masalah Syi’ah secara khusus dan
aqidah secara umum.
Pergilah kepada
salah seorang dari para tokoh penyeru taqrib (pendekatan) antara sunnah dan
Syi’ah, kemudian mintalah darinya untuk menulis dalil-dalilnya dari al-Kitab
dan Sunnah akan keshahihan agama Syi’ah, yang kemudian kami akan menyebarkannya
di dalam majalah secara langsung. Saat itu akan tersingkaplah kepada umat, akan
kebenaran ucapan saya, bahwa mereka bukanlah para ulama, dan bukan ahli ilmu
dalam hal ini.
Bahkan saya
menjadi bergembira, seandainya ada satu orang dari para tokoh penyeru taqrib
ini yang maju, sama saja orang yang telah Anda sebutkan, atau selain mereka
untuk masuk dalam dialog damai bersama kami yang umat ini akan bisa mengambil
faidah darinya. Akan tetapi saya katakan dengan terus terang dengan keyakinan
seorang mukmin, ‘Jika orang-orang Syi’ah pada umumnya takut untuk menghadapi kami,
maka apakah Anda akan menyangka orang yang bukan termasuk Syi’ah memiliki
kemampuan dan keberanian untuk menghadapi kami (majalah Qiblati) dalam masalah
Pembelaan Terhadap Syi’ah? Dengan yakin, bahwa ini adalah mustahil, dan semacam
khayalan- biidznillah-.
Kemudian, wahai
putraku, bukanlah popularitas itu yang menjadi ukuran dalam mengetahui
kebenaran dari kebatilan, karena orang itu dikenal dengan agama, bukan agama
dikenal dengan orang. Tidak logis, jika seseorang tidak enak badan terus dia
pergi ke penjual arang atau kayu bakar, sebagai ganti dari dokter. Juga tidak
logis saat mobil mogok, pemiliknya pergi ke apotik, tidak ke bengkel.
Ingat, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan peringatan kepada para hamba-Nya
dari mengikuti orang-orang yang kesohor, bangsawan, dan para pembesar, tokoh
masyarakat, dan bahkan ulama-ulama sesat. Allah berfirman menceritakan lisan
kaum yang nanti datang pada hari kiamat yang mereka sesat dengan kesesatan yang
besar karena mengikuti para tokoh:
وَقَالُوا
رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا
(٦٧)رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
(٦٨)
“Dan mereka
berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan
pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan
kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan
kutukan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 67-68)
Dari sini, kami
ambil buah, yaitu bahwa hujjah dari pertanyaan Anda gugur secara ilmiah, dan
tidak layak berdalil denganya dalam menshahihkan agama Syi’ah. Bahkan itu
merugikan syi’ah, dan tidak memberikan manfaat kepada mereka, karena Anda tidak
bertumpu dari al-Kitab dan Sunnah yang sahih atas pembenaran agama mereka, namun
dengan ucapan-ucapan para tokoh. Ini merupakan sebuah cacat atas agama manapun.
Kami akan menemukan para tokoh yang membenarkan agama Qodyaniah, dan kita akan
menemukan para tokoh yang membenarkan pikiran liberal, dan kita akan medapati
orang-orang tenar yang menshahihkan persatuan agama, demikian seterusnya. Oleh
karena itu, ibrahnya adalah dalil dari Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya, bukan
dengan ucapan orang-orang tenar.
Terakhir, saya
tutup dengan mengatakan bahwa pintu majalah Qiblati terbuka untuk dialog damai
dengan semuanya. Barangkali kami salah dalam penghukuman kami. Oleh karena
itulah kami menerima orang yang maju dan meluruskan kesalahan-kesalahan kami.
Maka hak bantahan terjamin dan terjaga untuk semuanya, selamat datang bagi Anda
sekalian. Dan terima kasih atas perhatiannya. (AR)*
Sumber : http://qiblati.com
0 komentar:
Posting Komentar