Senin, 17 Februari 2014

Jawaban Syubhat Syiah (11)


Bantahan Syubhat Syi’ah
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi

Sebagai perubahan, kami memilih beberapa macam syubhat berbeda pada edisi ini. Saya memohon kepada Allah, agar bantahan-bantahan ini mendapatkan keridhaan Allah, kemudian keridhaan Anda sekalian.
Penanya: Kayfa alhal Qiblati yang makin mendebarkan? Afwan mau nanya, Orang-orang syi’ah sering menjadikan surah al-Jumu’ah nutuk menghujat bahwa para sahabat telah menzalimi Rasulullah dengan meninggalkannya sendirian ketika sementara berkhutbah, tolong dijelaskn pemahaman yang benar tentang ayat tersbut..syukron !! +628***1248***
Jawab: Saya berterima kasih atas pujian Anda, dan kami memohon kepada Allah agar kami berada pada kebaikan yang Anda persangkakan.

Pertama, yang harus Anda ketahui adalah sebab turunnya ayat Jum’at, zaman, serta kondisi lingkungan yang mengitarinya, agar Anda bisa memahami permasalahan ini dengan benar. Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kala itu tengah berkhutbah di atas mimbar pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah kafilah dagang yang membawa makanan dari perniagaan Syam. 

Kemudian dipukullah genderang agar manusia mengetahui kedatangannya. Sementara manusia pada zaman itu hidup dalam kerasnya kehidupan, maka mereka pun keluar dan tidak tersisa di dalam masjid melainkan dua belas orang, di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar, maka turunlah ayat:

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (١١)
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,” dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11)
Sesungguhnya khutbah ini, yang mereka telah keluar darinya adalah khutbah setelah mereka melakukan shalat Jum’at, di mana kala itu shalat Jum’at seperti shalat dua hari raya, yaitu shalat lebih dulu, baru kemudian khutbah. Maka di saat manusia keluar, mereka menyangka bahwa tidak masalah meninggalkan khutbah Jum’at. Maka Allah menurunkan ayat tersebut. Abu Dawud, al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim dan selain mereka telah menguatkan hal tersebut.
Kejadian ini terjadi sebelum bermulanya zaman hijrah, dan adab-adab syar’i belum sempurna, sebagaimana para sahabat besar seperti Abu Bakar, dan Umar berdiri di sisi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu telah tetap di dalam hadits-hadits shahih.

Larangan syar’i ini belum ada sebelumnya, maka tatkala turun ayat Jum’at, mereka baru memahami tercelanya hal tersebut. Maka mereka pun menjauhinya, dan tidak pernah sama sekali mengulanginya. Bahkan mereka adalah orang yang menjaga praktek hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan syar’i ini. Hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka dengan sebaik-baik sifat:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali ‘Imran: 110)
Maka di manakah Syi’ah dari pujian agung ini, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai pujian itu untuk generasi para sahabat yang mulia? Dan dikarenakan Syi’ah Ekstrim termasuk seburuk-buruk makhluk, maka mereka menjadikan pandangan mereka tertuju pada perkara pertama yang terjadi hanya sekali, dan tidak menoleh kepada perkara kedua yang dipraktekkan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan yang mereka laksanakan sepanjang hidup mereka, dan mereka mati di atasnya; mereka berdiri di sisi perintah-perintah Allah, dan larangan-larangan-Nya. Dan telah diketahui bahwa hukum-hukum Islam tidak turun sekali saja, melainkan turun secara berangsung-angsur. Dan datanglah sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berangsur-angsur sebagai bentuk kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk para hamba-Nya dalam perkara yang disyari’atkan untuk mereka, baik itu berupa pembolehan atau pengharaman.
Maka pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan berbagai kewajiban atas para hamba-Nya, seperti shalat, puasa, dan zakat, Allah wajibkan itu semua di atas beberapa fase, dan tingkatan-tingkatan hingga selesailah kewajiban-kewajiban itu pada bentuk yang terakhir.

Shalat, awal kalinya diwajibkan dua rakaat-dua rakaat, kemudian jumlah ini ditetapkan pada waktu safar, lalu ditambah pada waktu mukim menjadi empat rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar, dan ‘Isya`. Puasa, awal kali diwajibkan di atas pilihan, siapa yang mau maka dia berpuasa, dan siapa yang mau maka dia boleh berbuka dan membayar fidyah; yaitu memberi makan seorang miskin setiap hari dia berbuka. Zakat, diawajibkan pertama kali di Makkah secara mutlak, tanpa ada batasan, tidak juga diikat dengan nishab dan kadarnya. Bahkan dibiarkan untuk hati nurani orang-orang mukmin dan kebutuhan masyarakat dan individu, hingga zakat itu diwajibkan atas harta yang mencapai nishab dan kadar di Madinah.

Perkara-perkara yang diharamkan pun demikian, tidaklah datang pengharamannya secara sekaligus, secara serentak. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui ukuran penguasaannya atas jiwa-jiwa, serta penetrasinya ke dalam kehidupan individu dan sodial. Maka bukanlah termasuk hikmah menyapih manusia darinya dengan perintah langsung yang dikeluarkan bagi mereka. Tiada lain yang hikmah adalah menyiapkan mereka secara kejiwaan, dan pemikiran untuk menerimanya. Kemudian membawa mereka dengan aturan tahapan dalam mengharamkannya. Hingga jika datang perintah penentu, mereka sudah siap secara nyata dan emosional untuk melaksanakannya seraya mengatakan, ‘Kami mendengar, kami patuh.’
Dan diantara contoh paling jelas, yang menguatkan hal ini adalah pengharaman riba dan khomer yang berjenjang sebagaimana diketahui dalam sejarah pensyariatan Islam. Hingga turun ayat-ayat penentu dalam pelarangan darinya. Diantaranya adalah dari surat al-Maidah, yang penutupnya adalah:
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“…Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 91)
Dari sini, turunlahlah al-Qur`an kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Akan tetapi Syi’ah, dengan pengingkaran mereka terhadap sikap meninggalkan khutbah yang dilakukan oleh manusia kala itu, tiada lain itu adalah sebuah ungkapan akan ketidak berimannya mereka terhadap tahapan ini. Maka dengan hal ini, mereka bersesuaian dengan orang-orang kafir yang mengingkari turunnya al-Qur`an yang berangsur-angsur. Maka berfirmanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sifat mereka:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)
Maka bayangkanlah bersama saya, seandainya Anda adalah seorang pengajar SD, apakah Anda ingin agar murid-murid Anda berada di tingkat mahasiswa perguruan tinggi? Dengan yakin tidak. Maka kekurangan seorang murid pada satu atau dua pelajaran tidak berarti bahwa ia tidak akan memahami hal tersebut pada masa mendatang dengan terusnya pelajaran dan arahan. Dan inilah kondisi para sahabat Radhiallahu ‘Anhum bersama pengajar mereka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang bertahap dalam mendidik dan mengajari mereka. Sesungguhnya orang yang mencemarkan para sahabat, maka dia pada hakikatnya mencemarkan pengajar mereka, dan menuduhnya gagal dalam mendidik dan mengajari mereka. Sekali-kali tidak demikian.
Maka apakah Anda mengetahui siapakah mereka yang dituduh oleh Syi’ah dalam syubhat ini dan lainnya? Mereka adalah orang-orang yang telah mempersembahkan darah mereka dengan murah untuk meninggikan kalimat Allah. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang telah memerangi bapak-bapak mereka, dan saudara-saudara mereka demi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apakah Anda mengetahui siapakah mereka, yang syi’ah membenci mereka? Sesungguhnya mereka adalah orang yang telah menebus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan darah-darah mereka, dan membela serta melindungi beliau dengan arwah mereka.

Apakah Anda mengetahui siapakah mereka yang Syi’ah dan orang-orang yang sepaham dengan syi’ah menjelek-jelekkan mereka? Sesungguhnya mereka adalah orang yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhasil mendidik mereka. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan legitimasi-Nya yang kekal berkaitan dengan hak mereka, yang terus dibaca hingga hari kiamat.

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Perhatikanlah, bagaimana pada waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiapkan sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai untuk para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, dan mereka akan kekal di dalamnya, orang Syi’ah malah menuduh dan mencaci hak mereka, serta menjadikan mereka sebagai orang-orang kafir, terlaknat dan kekal di dalam neraka, wal’iyadzu billah.

Dan termasuk perkara yang mengherankan adalah bahwa Syi’ah menuduh para sahabat dengan hujjah kecintaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka telah menyebutkan dalam kitab-kitab mereka berbagai tuduhan dan kelancangan yang tidak layak terhadap hak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarga beliau. Tetapi ini bukanlah tempat untuk merincinya.
Sesungguhnya di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, …” (QS. Ali ‘Imran: 110) Ada sebuah dalil yang jelas atas keadilan para sahabat bagi umat ini atas seluruh umat sebelumnya. Dikarenakan orang pertama kali yang masuk dalam kebaikan ini adalah orang yang diajak bicara waktu itu dengan kandungan arah pembicaraan ayat tersebut di saat turunnya.
Akan tetapi, apa yang bisa kita lakukan terhadap akal-akal sakit, dan hati-hati dengki yang ingin menghisab (menilai dan menghitung) para ulama besar atas sebagian prilaku mereka saat mereka berada pada masa SD?
Sebagaimana kebiasaan, kami menjatuhkan Syi’ah pada keburukan amal-amal mereka, dan kami katakan kepada mereka, ‘Sepanjang Anda sekalian bertumpu pada ahlissunnah dalam riwayat hadits ini, maka Anda harus menerima riwayat tersebut sebagaimana adanya, atau meninggalkannya sebagaimana adanya. Jika Anda menerima, maka akan kami katakan bahwa perawi hadits itu, yaitu Jabir bin ‘Abdillah, menyebut bahwa dia termasuk dua belas orang yang tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia menyebutkan, di antara orang-orang tetap tinggal dan tidak keluar adalah Abu Bakar dan ‘Umar. Seandainya kita mengalah, bahwa kesembilan orang sisa itu adalah termasuk ahlul bait, maka apakah masuk akal, tetap tinggal sembilan orang diantara mereka, sementara puluhan yang lain keluar bersama manusia?!
Ini adalah sikap mengalah dari saya, jika tidak, maka sungguh telah disebut nama-nama kedua belas orang yang tetap tinggal bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hadits mursal yang diriwayatkan oleh Asad bin ‘Amr, bahwa orang yang tersisa, ditambah oleh Jabir bin ‘Abdillah, adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, dan Bilal. Dalam riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud, dan riwayat lain terdapat ‘Ammar bin Yasir, dan kedua riwayat terakhir ini menyebut bahwa jumlah mereka adalah tiga belas orang.
Jadi, tidak tersisa dari ahlul bait kecuali ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu. Maka jika Syi’ah menilai bahwa keluarnya para sahabat adalah sebuah cacad atas mereka, dan akhlak buruk mereka sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri berkhutbah, maka sesungguhnya yang demikian itu lebih keras lagi pukulannya terhadap ahlul bait.
Saya cukupkan ini saja, didalamnya sudah ada kecukupan, dan saya berterima kasih atas hubungan ini, dan saya memohon kepada Allah, agar mengumpulkan saya, Anda, dan seluruh orang yang mencintai para sahabat Radhiallahu ‘Anhum di Firdaus yang tertinggi di sorga. Amin.*
Syubhat: Syi’ah mempedomani imam Ali, Hasan, Husain dan 9 keturunan Imam Husain. Dari 12 imam itulah hadits-hadits Syiah diambil. Memang syiah hanya mempedomani sebagian hadis sunni karena sebagian lagi dianggap rekayasa penguasa. Prof. Dr. Quraish shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan mazhab syi’ah tidak sesat. +628***2493***
Jawab: Dalam perkara yang mengkhususkan satu sisi, yaitu bahwa Syi’ah mengambil hadits-haditsnya dari para Imam, maka sungguh Anda telah mencukupi bantahan saya, dan Anda sendiri telah membatalkan agama Syi’ah tanpa Anda ketahui. Karena memang tidak ditemukan dari mereka ilmu hadits, dan barangkali Anda kembali kepada makalah saya pada edisi yang lalu, dan edisi ini, yaitu tentang ilmu hadits pada Syi’ah. Anda akan menyingkap sendiri hakikat itu tanpa kesulitan. Dan saya berharap agar Anda mengikuti edisi-edisi mendatang dengan izin Allah, agar Anda bisa menyingkap tambahan-tambahan informasi dan ilmu yang mengagetkan, dan dengan yakin bahwa perkara yang mengagetkan itu bukanlah sebuah rahasia bagi Syi’ah.
Adapun ucapan Anda bahwa Syi’ah berpedoman pada kesembilan Imam dari keturunan al-Husain Radhiallahu ‘Anhu, maka Anda juga telah membatalkan agama Syi’ah tanpa Anda  rasakan. Mengapa kesembilan Imam tersebut tidak dari keturunan al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Sementara beliau adalah lebih tua dari al-Husain Radhiallahu ‘Anhu? Maka manakah dalil atas pengangkatan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi anak-anak al-Husain Radhiallahu ‘Anhu, tanpa anak-anak al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Kami menginginkan dalil dari al-Qur`an, karena ini adalah aqidah dan satu pokok dari pokok-pokok agama. Satu pokok agama haruslah dari dalil yang qath’iy yang di dalamnya tidak ada ruang kemungkinan. Karena suatu dalil, jika disebutkan suatu kemungkinan di dalamnya, maka batallah berdalil dengannya.
Kemudian bertanyalah pada diri Anda sendiri pertanyaan ini yang Anda tidak akan menemukan jawabannya pada Syi’ah; yaitu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menentukan para Imam dari keturunan al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Bukankah dia yang sulung? Maka bagaimana Syi’ah menjadikan syarat pengangkatan Imam adalah putra sulung dari keturunan al-Husain, yaitu bahwa Imam setelah al-Husain adalah putra sulungnya, dan putra sulung ini diganti oleh putra sulungnya, dan demikian seterusnya…
Jika memang demikian, maka mengapa imamah tidak jatuh kepada putra sulung Ali, yaitu al-Hasan Radhiallahu ‘Anhu? Pertanyaan dalam sisi ini sangat banyak, dan pembicaraan di dalamnya tidak akan pernah berhenti di atas angan-angan. Kami menunggu seseorang yang maju berdialog bersama kami.
Akan tetapi saya mengajak Anda untuk melihat ke dalam Biharul Anwar (45/329), oleh al-Majlisi, cet. Muassasah al-Wafa`, Beirut (Cet. II, 1403), dan rujukan lainnya, bahwa pengagungan keturunan al-Husain, bukan keturunan al-Hasan, karena orang-orang Persia adalah paman-paman mereka, karena keberadaan istri al-Husain adalah Putri Yazdajir, orang Persia, dan beragama Majusi.
Adapun berkenaan dengan tokoh-tokoh di Indonesia yang tercinta, dan bersamaan dengan ketidak tahuanku jika ada di antara tokoh-tokoh itu adalah seorang Syi’ah atau Liberal, atau tidak, maka sesungguhnya saya mulai sebuah pertanyaan kepada Anda; ‘Apakah Anda mengambil agama Anda dari “Allah berfirman, Rasul-Nya bersabda” ataukah dari “Fulan berkata, dan Fulan berkata”?!
Orang yang telah Anda sebutkan, bersamaan dengan penghormatan saya kepada mereka, mereka bukanlah para ulama Syari’ah, tidak juga orang-orang yang ahli. Keberadaan mereka dikenal di masyarakat tidak berarti bahwa kita menjadikan apa yang mereka katakan sebagai sebuah hukum atas kitabullah, dan sunnah Nabi-Nya. Bahkan kita jadikan Kitabullah, Sunnah Nabi-Nya lah yang menghukumi kita dan mereka, dan setiap orang yang berselisih. Jika benar ucapan mereka yang datang di dalam pertanyaan Anda, maka tidaklah mereka menjadi orang pertama dan terakhir yang berbicara tanpa ilmu dalam masalah Syi’ah secara khusus dan aqidah secara umum.
Pergilah kepada salah seorang dari para tokoh penyeru taqrib (pendekatan) antara sunnah dan Syi’ah, kemudian mintalah darinya untuk menulis dalil-dalilnya dari al-Kitab dan Sunnah akan keshahihan agama Syi’ah, yang kemudian kami akan menyebarkannya di dalam majalah secara langsung. Saat itu akan tersingkaplah kepada umat, akan kebenaran ucapan saya, bahwa mereka bukanlah para ulama, dan bukan ahli ilmu dalam hal ini.
Bahkan saya menjadi bergembira, seandainya ada satu orang dari para tokoh penyeru taqrib ini yang maju, sama saja orang yang telah Anda sebutkan, atau selain mereka untuk masuk dalam dialog damai bersama kami yang umat ini akan bisa mengambil faidah darinya. Akan tetapi saya katakan dengan terus terang dengan keyakinan seorang mukmin, ‘Jika orang-orang Syi’ah pada umumnya takut untuk menghadapi kami, maka apakah Anda akan menyangka orang yang bukan termasuk Syi’ah memiliki kemampuan dan keberanian untuk menghadapi kami (majalah Qiblati) dalam masalah Pembelaan Terhadap Syi’ah? Dengan yakin, bahwa ini adalah mustahil, dan semacam khayalan- biidznillah-.
Kemudian, wahai putraku, bukanlah popularitas itu yang menjadi ukuran dalam mengetahui kebenaran dari kebatilan, karena orang itu dikenal dengan agama, bukan agama dikenal dengan orang. Tidak logis, jika seseorang tidak enak badan terus dia pergi ke penjual arang atau kayu bakar, sebagai ganti dari dokter. Juga tidak logis saat mobil mogok, pemiliknya pergi ke apotik, tidak ke bengkel.
Ingat, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan peringatan kepada para hamba-Nya dari mengikuti orang-orang yang kesohor, bangsawan, dan para pembesar, tokoh masyarakat, dan bahkan ulama-ulama sesat. Allah berfirman menceritakan lisan kaum yang nanti datang pada hari kiamat yang mereka sesat dengan kesesatan yang besar karena mengikuti para tokoh:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا (٦٧)رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (٦٨)
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 67-68)
Dari sini, kami ambil buah, yaitu bahwa hujjah dari pertanyaan Anda gugur secara ilmiah, dan tidak layak berdalil denganya dalam menshahihkan agama Syi’ah. Bahkan itu merugikan syi’ah, dan tidak memberikan manfaat kepada mereka, karena Anda tidak bertumpu dari al-Kitab dan Sunnah yang sahih atas pembenaran agama mereka, namun dengan ucapan-ucapan para tokoh. Ini merupakan sebuah cacat atas agama manapun. Kami akan menemukan para tokoh yang membenarkan agama Qodyaniah, dan kita akan menemukan para tokoh yang membenarkan pikiran liberal, dan kita akan medapati orang-orang tenar yang menshahihkan persatuan agama, demikian seterusnya. Oleh karena itu, ibrahnya adalah dalil dari Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya, bukan dengan ucapan orang-orang tenar.
Terakhir, saya tutup dengan mengatakan bahwa pintu majalah Qiblati terbuka untuk dialog damai dengan semuanya. Barangkali kami salah dalam penghukuman kami. Oleh karena itulah kami menerima orang yang maju dan meluruskan kesalahan-kesalahan kami. Maka hak bantahan terjamin dan terjaga untuk semuanya, selamat datang bagi Anda sekalian. Dan terima kasih atas perhatiannya. (AR)*

0 komentar:

Posting Komentar