Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Syubhat: Ibu tiri jahat dicintai, ibu kandung
sayang dijahatin (anak durhaka) cinta buta, mengingkari sejarah.
Jawab: Sesungguhnya saya memohon maaf
terhadap seluruh kaum muslimin, karena kami menerbitkan ucapan semacam ini yang
menyakiti perasaan Anda semua. Akan tetapi kami menerbitkannya agar kaum
muslimin mengetahui tabiat aqidah mereka (orang-orang Syi’ah), dan ajakan sesat
mereka, agar tidak tersisa lagi satu alasan bagi seorang pun yang masih
berbasa-basi dengan mereka atas nama pendekatan dan toleransi, dan atas nama
persatuan dan ukhuwah (persaudaraan).
Sesungguhnya orang-orang zindiq tersebut
tengah melakukan rancangan-rancangan rahasia dengan menampakkan kecintaan
mereka kepada ahlul bait, dan menyembunyikan kebencian mereka kepada para
sahabat, dan ummahatul mukminin. Dan pikiran mereka tidak akan menjadi tenang
kecuali dengan merusak agama kaum muslimin.
Adapun Anda
wahai penanya, fajir, lagi kafir kepada Allah, maka saya katakan kepada Anda,
seandainya Anda berada di tengah Bani Israil saat turun kepada mereka ayat,
‘Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyembelih sapi betina..’ maka
tidaklah mereka itu akan menyembelih selain Anda.
Wahai pendosa,
sesungguhnya Allah tidak mengkhususkan ibu kandung saja dengan kedudukan yang
tinggi, akan tetapi semua istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih
utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya
adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab (33): 6)
Anda, wahai
pendosa, saat Anda berbuat lancang kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, maka dia
bukanlah ibu Anda, dia hanyalah ibunya orang-orang mukmin, sebagaimana disebut
nashnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak mungkin bagi ‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha menjadi ibunya orang-orang kafir, fajir, lagi zindiq seperti
Anda.
Sesungguhnya
saya, saat saya keras dalam menjawab penanya semacam ini (tidak lagi tenang dan
santun sebagaimana kebiasaan saya), maka bukanlah karena dia kafir kepada Allah
dan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qur`an yang
mulia, akan tetapi karena dia telah menyakiti kekasih dan penghulu kita,
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terhadap kehormatan beliau dan
keluarganya. Kemudian dia mengklaim dengan dusta bahwa dia cinta kepada Nabii
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ahlul baitnya. Maka dengan mengatas namakan
kecintaan kepada ahlul bait, mereka memperdayakan sebagian orang-orang yang
lugu, kemudian setelah itu mereka menjadikan kecintaan ini sebagai sarana untuk
mencaci maki, dan melaknat para sahabat dan ummahatul mukminin.
Kami memuji
Allah, tidak ada yang mengikuti mereka kecuali bodohnya manusia seperti sang
penaya yang telah menyia-nyiakan akalnya.
Segala puji bagi
Allah yang telah menyelamatkan kami dari perkara yang Dia telah menguji Anda
denganya, dan memberikan keutamaan kepada kami dari banyak manusia yang telah
Dia ciptakan.
Syubhat: Mengapa kalian tidak bisa menerima
kalau istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu kafir dan
pengkhianat, sementara kalian bisa menerima kalau istri Nabi Nuh dan Nabi Luth
itu kafir, sesungguhnya kekafiran keduanya bermakna bahwa memungkinkan
kekafiran itu juga terjadi pada salah satu istri-istri Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Jawab: Pertanyaan seperti ini saya terima
untuk saya jawab, karena penulisnya adalah bertanya, bukan mencaci, serta
melaknat, padahal mungkin saja penanya meyakini kekafiran ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha, akan tetapi kami tidak mengetahuinya, karena dia tidak menampakkannya
pada pertanyaannya. Maka kami bersedia untuk berdialog dan menjawab penanya
seperti ini, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menulis hidayah baginya
dan selainnya. Saya akan menjawabnya setelah memohon pertolongan kepada Allah,
saya katakan:
Saya mulai
dengan mengarahkan sebuah pertanyaan kepada penanya, ‘Bagaimana Anda tahu bahwa
istri Nuh dan Luth ‘Alaihi Sallam itu kafir?’
Tidak diragukan
lagi bahwa Anda mengetahuinya dari al-Qur`an yang mulia, yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menyebutkan di dalamnya bahwa keduanya kafir. Jika demikian,
maka apakah al-Qur`an yang mulia itu jelas terang-terangan mengkafirkan salah
satu istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Jika Anda
beranggapan akan kekafiran ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha atau istri-istri Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain, maka sebutkanlah kepada kami satu
dalil yang jelas dari al-Qur`an akan kekafirannya? Mustahil mengqiyaskan
kekafiran istri Nuh dan Luth ‘Alaihi Sallam dengan istri-istri para nabi yang
lain. Misal, tidak mungkin dikatakan bahwa istri Ibrahim ‘Alaihi Sallam kafir
atau keji, mengapa? Karena tidak ada dalil dari al-Qur`an yang mulia atas hal
tersebut. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kekafiran istri
Nuh dan Luth ‘Alaihi Sallam dan tidak menutupinya, maka tentunya Dia tidak akan
lemah untuk menjelaskan dengan terang akan kekafiran selain mereka dari
istri-istri para Nabi.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala saat berfirman “…isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…” maka Dia tidak mengecualikan seorang
pun dari istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka makna tersebut
menunjukkan keumumannya, sesuai dengan kaidah ushul bahasa Arab.
Maka apakah di
sisi orang-orang Syi’ah ada satu ayat yang membantah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“…isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab (33): 6)?
Atau ayat yang
menasakhnya, atau mengecualikan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dari ayat tersebut?
Siapa yang memperhatikan kata-kata dan mushthalahat al-Qur`an
yang mulia, dia akan mendapatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mempersembahkan satu dalil yang agung. Yaitu sebuah mukjizat mematikan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dengannya Dia membuka dada orang-orang mukmin.
Dan saya nasihatkan kepada para ulama Syi’ah untuk merenunginya. Yaitu
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalam al-Qur`an yang mulia, tidak
menggunakan istilah ‘ZAUJAH’ [زَوْجَة = ISTRI] bagi
istri Nuh dan Luth ‘Alaihi Sallam, akan tetapi menggunakan istilah ‘IMRA`AH’ [امْرَأَة
= WANITA], Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ
نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ
فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ
ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan
istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah
pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua
isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada
dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada
keduanya): “Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk
(jahannam)”. (QS. At-Tahrim (66): 10)
Tatkala keduanya
adalah orang musyrik, maka Allah menamai keduanya dengan sebutan [امرأة],
bukan [زوجة]. Demikian pula dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ
فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri
Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya
Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari
kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim (66): 11)
Maka tatkala Fir’aun adalah orang musyrik dan istrinya adalah
seorang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menamainya sebagai [زوجة]
bagi suaminya. Maka kita temui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati
seorang muslimah, sebagai imra`ah bagi suami kafir, dan mesifati wanita kafir
sebagai imra`ah bagi suami mukmin. Maka lafazh al-Qur`an datang dengan
penyebutan mar`ah (imra`ah), bukan zaujah.
Di saat menyebutkan istri Nuh dan Luth ‘Alaihi Sallam Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak menyatakan keduanya sebagai zaujah maka
hal ini karena keduanya bukanlah istri mereka di akhirat. Demikian pula saat
menyebutkan istri Fir’aun, Allah tidak menyatakannya sebagai zaujah karena
Fir’aun bukanlah suaminya di Akhirat.
Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyatakan dengan mutlak pensifatan istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dengan penyebutan azwaj (bentuk jamak dari zaujah), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ
أَزْوَاجَكَ
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami
telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu …” (QS. Al-Ahzab (33): 50)
Demikian pula
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“…isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab (33): 6)
Ini adalah nash yang qath’i lagi jelas terang dan muhkam yang
menjelaskan bahwa seluruh istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tanpa terkecuali adalah ummahatul mukminin.
Dan termasuk konsekuensinya adalah siapa yang menolak keibuan salah seorang
dari mereka terhadap kaum mukminin, maka sungguh dia telah mengeluarkan diri
mereka sendiri dari area orang-orang mukmin.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala Maha Mengetahui, lagi Maha Hakim. Dia mengetahui apa yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. Oleh karena itu telah ada
pada ilmu dan hikmah-Nya bahwa akan keluar dari orang-orang munafik pada setiap
zaman yang akan mencela kehormatan ummul mukminin. Oleh karena itu Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada akhir ayat-ayat yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan kesucian ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dari tuduhan keji dalam
surat an-Nur:
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ
لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ
وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“… dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang
mulia (surga).” (QS. an-Nur (24): 26)
Kita perhatikan
bahwa ayat tersebut disebutkan dengan fi’il mudhari’ yaitu [يَقُوْلُوْنَ
= mereka berkata] dan lafazh ini menunjukkan adanya pembaharuan. Dan Allah
tidak membantah dengan fi’il madhi [قالو = mereka telah
mengatakan], Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin membebaskan ibunda ‘Aisyah dari
apa yang telah dikatakan dan yang akan dikatakan atasnya hingga hari kiamat.
Ini adalah sebuah persaksian agung bagi as-Shiddiqah yang suci ini. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengeluarkan setiap orang yang mencelanya dari area
kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَن تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِن
كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan kamu agar
(jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu
orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur (24): 17)
Makna hal itu
adalah bahwa orang yang mengulang-ulang celaan setelah ayat-ayat bara`ah, maka
dia bukan termasuk orang-orang mukmin. Dan termasuk karamah dari as-shiddiqah
binti as-Shiddiq ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha adalah bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala memuliakannya dan membebaskannya dari apa yang dikatakan oleh
orang-orang munafik di kehidupannya. Sebagaimana Allah membebaskannya dari apa
yang akan dikatakan oleh orang-orang kafir dan munafik setelah mereka hingga
hari kiamat nanti.
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ
اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat,
dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. al-Ahzab (33): 57)
Cukuplah bagi
ibunda ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha untuk berbangga, atas pemuliaan Allah kepada
Anda. Maka setelah ini semua, apakah layak bagi orang yang pada hatinya masih
ada sebiji zarrah keimanan untuk menuduhnya dengan keburukan?! Mudah-mudahan
Allah meridhai Anda wahai ibunda kami, dan meridhai Anda.
Syubhat: Nabi baru saja wafat, tetapi Abu
Bakar malah pergi untuk mengurus kekuasaan, bukan mengurus jenazah Nabi. Begitu
rendahnya akhlaq Abu Bakar!! Hanya orang-orang tolol yang menjadikannya
petunjuk.
Jawab: Sesungguhnya kami tidak heran, saat hakikat kebenaran itu
berputar balik dari orang-orang semacam Anda. Anda adalah sebuah biji yang
telah dirawat dan disiram oleh para pendosa yang tujuannya adalah memisahkan
para sahabat dari Islam, serta melenyapkan peran mereka sebagai bentuk balas
dendam terhadap penaklukan mereka terhadap negeri Persia. Seandainya mereka
berfikir sedikit, maka pastilah mereka akan mengetahui bahwa orang yang
menyebabkan mereka muslim adalah para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.
Termasuk di
antara pemutar balikan fakta adalah persangkaan kalian akan kesibukan Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu dari jenazah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di sini,
saya harus merinci dengan ringkas agar Anda bisa memahami fakta sebagaimana apa
adanya. Di saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, seluruh manusia
tergoncang dan terkejut. Di antara mereka ada yang terduduk dan tidak mampu
untuk berdiri. Ada yang kelu lisannya dan tidak bisa berbicara, ada yang
mengingkari kematian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara mutlak, dan
mengambil pedang atas setiap orang yang mengumumkan kematian Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Pada keadaan
genting yang dilalui umat kala itu, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berdiri dengan
keberanian dan keyakinan seorang mukmin seraya berkata kepada manusia:
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّداً فَإنَّ مُحَمَّداً قَدْ
مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ
“Barangsiapa menyembah
Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah
Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup tidak akan mati.”
Itu adalah sikap
kepahlawanan satu-satunya di antara sikap para pemimpin umat. Dialah yang telah
membangunkan kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada petunjuk setelah
sebelumnya mereka menolak untuk membenarkan hakikat kematian Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dengan sikap agung dari Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu ini,
terjagalah manusia dari dahsyatnya tragedi kala itu. Terutama setelah dia
membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ
الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن
يَنقَلِبْ عَلَىَ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللّهُ
الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran: 144)
Maka kuam
muslimin pun menyadari bahwa harus menanggung beban kesabaran. Diantaranya
adalah pengangkatan khalifah (pengganti) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam atas musibah mereka, dan penguburan Nabi mereka Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Dan yang harus pertama kali dilakukan adalah mengangkat Khalifah
pengganti beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sekalipun demikian para sahabat
Radhiallahu ‘Anhum kala itu mereka dalam keadaan menangis, berdo’a, berdzikir,
dan membaca al-Qur`an, dan segala yang serupa dengan kondisi manusia saat
terjadi satu musibah besar yang menimpa mereka.
Alih-alih mereka menjadikan sikap pahlawan ini termasuk bagian
dari manaqib (karamah) Abu bakar Radhiallahu ‘Anhu,
musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya itu malah ingin menjadikan sikap itu sebagai
sisi negatif dari Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu, dan para sahabat besar, saat mereka sibuk memilih Khalifah,
karena pemilihan Khalifah lebih utama daripada memakamkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Sekalipun penguburan mayat adalah wajib, tetapi pengangkatan
seorang khalifah lebih wajib daripadanya. Yang menguatkan hal itu adalah bahwa
para sahabat yang sibuk mengurus jenazah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak mengingkari mereka sama sekali, bahkan mereka berbaiat saat pemilihan
Khalifah selesai. Maka jadilah hal itu sebagai ijma’ (kesepakatan) bahwa
pengangkatan Khalifah lebih didahulukan daripada perkara lain. Dan hal ini
karena banyak sebab;
Misal,
seandainyanya orang-orang murtad dan lainnya menyerang Madinah disela-sela hari
itu, maka siapakah yang akan menyatukan manusia dan mengatur barisan mereka?
Misal lain,
seandainya terjadi permasalahan di antara masing-masing suku di Madinah,
siapakah yang akan menyelesaikan permasalahan itu di antara mereka dan siapakah
yang akan ditaati perintahnya?
Misal lain,
prosesi penyelenggaraan jenazah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
menshalatinya, serta mengebumikannya membutuhkan seorang pemimpin yang
ucapannya menjadi rujukan jika mereka berselisih pendapat terhadap sesuatu dari
perkara penyelenggaraan jenazah, shalat, dan mengebumikannya, yang kemudian
mereka akan menuruti perintahnya? Barangkali perkara ini akan menghantarkan
kepada persengketaan dan perselisihan ucapan, maka jadilah pekrara ini menjadi
perkara yang terpenting.
Adalah manusia
kala itu menshalati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri-sendiri;
sekelompok orang masuk kemudian shalat sendiri-sendiri lalu keluar, kemudian
masuk lagi sekelompok orang, kemudian masuklah kaum wanita setelah kaum
laki-laki, kemudian anak-anak.
Di saat sebagian
sahabat tidak sibuk dalam penyelenggaraan jenazah Nabi, maka sebabnya adalah
karena ada orang lain selain mereka yang mempersiapkan penyelenggaraan jenazah.
Maka telah diketahui oleh bangsa Arab dan selainnya, bahwa yang
menyelenggarakan jenazah adalah kerabatnya. Sebagaimana tidak mungkin secara
akal, ribuan orang ikut sibuk mengurusi jenazah, terutama tempat yang di sana
terdapat jenazah itu sempit sebagaimana diketahui, sebagaimana pula difahami
bahwa menyelenggarakan jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Kemudian, bahwa
para sahabat tidak bermaksud mengakhirkan pengebumian Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, akan tetapi itu adalah sebuah kesempatan bagi orang-orang yang
datang dari segenap tempat untuk menshalati beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Dan tidaklah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikebumikan kecuali setelah pemilihan
Khalifah selesai. Di sana, saya menantang Anda, dan setiap orang yang
memperdayakan Anda untuk mendatangkan satu dalil akan tuntutan Ali Radhiallahu
‘Anhu, atau salah satu putra paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
kerabatnya untuk menguburkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum
pengangkatan khalifah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bahwa pengebumian
beliau lebih wajib daripada pengangkatan Khalifah. Atau dalil yang menunjukkan
pengingkaran dan kemarahan mereka. Lihat, saya hanya meminta satu dalil saja,
tidak dua.
Berdasarkan
keyakinan saya, bahwa Anda tidak akan bisa menemukannya, maka saya bertanya
kepada Anda, apakah Anda sekalian lebih berambisi untuk menyelenggarakan
jenazah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali Radhiallahu ‘Anhu?
Sesungguhnya
kalian ingin membangunkan api fitnah ditengah-tengah umat dengan tuntutan
kalian untuk mengembalikan sejarah dengan cara yang difahami oleh musuh-musuh
umat ini setelah 1400 tahun. Perkara ini menjadikan saya bertanya kepada
orang-orang berakal dari Anda sekalian dengan sebuah pertanyaan hipotesis;
seandainya kita berfikir sama dengan cara akal-akal Anda sekalian yang
menyimpang, dan kami menerima bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu marah terhadap
pengangkatan Khalifah sebelum pengebumian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
tetapi beliau mendiamkannya serta tidak menyatakannya demi menjaga persatuan
umat, maka saya bertanya kepada Anda sekalian, ‘Mengapa Anda sekalian tidak
diam juga demi menjaga persatuan umat sebagaimana dilakukan oleh Ali
Radhiallahu ‘Anhu?! Maka jka Ali Radhiallahu ‘Anhu diam, sementara dia ma’shum
menurut Anda sekalian, maka mengapa kalian semua berbicara pada hari ini? Apa
yang Anda sekalian inginkan dibalik penghidupan api fitnah tersebut? Apakah
diamnya Ali Radhiallahu ‘Anhu, yang beliau adalah Imam ma’shum disisi Anda
sekalian adalah satu perbuatan yang salah?, sementara perbuatan kalian yang
tidak ma’shum telah berbuat benar?
Kemudian, apakah
Anda sekalian lebih banyak keberaniannya daripada Ali Radhiallahu ‘Anhu, dan
ahlul bait?
Anda dan selain
Anda, dari orang-orang yang sok alim, tidak mengetahui bahwa dengan syubhat
ini, Anda telah menafikan sikap jantan, dan ucapan hak dari Sang Pahlawan
Pemberani Ali Radhiallahu ‘Anhu. Jika tidak demikian, bagaimana dia diam dari
penundaan penyelenggaraan jenazah, dan bagaimana dia diam dengan kesibukan
mereka untuk mengangkat Khalifah jika dia menyatakan kesalahan perbuatan itu?
Terakhir,
bukanlah orang tolol yang menjadikan Abu Bakar sebagai petunjuk, akan tetapi
yang tolol adalah orang yang menyia-nyiakan nikmat akal dan menjual agamanya
karena untuk mendapatkan sedikit nasi, minyak, dan mie.
Bagaimana
pendapat Anda? daripada Anda sibuk mencaci para sahabat dan isteri-istri Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lebih baik Anda mencari seseorang yang mau
berdialog damai dengan majalah Qiblati. (AR)*
Sumber : http://qiblati.com
0 komentar:
Posting Komentar