Rabu, 06 Mei 2015

Organisasi Islam atau Apapun Namanya ...

Filled under:


Organisasi, himpunan, perkumpulan, jama’ah atau apapun namanya di dalam islam bagaikan kapal laut-kapal laut yang berlayar dan menuju ke sebuah pulau yang satu bernama ‘Pulau Kejayaan Islam’. Pernah di masa silam para pendahulu kita bermukim di sana tapi para orangtua kita meninggalkan pulau tersebut dan tersesat dalam derasnya arus kehidupan. Maka beberapa kelompok berkumpul dan membentuk sebuah kapal laut-kapal laut yang bisa mengantarkan mereka kembali ke pulau tersebut. Pemimpinnya adalah nahkodanya. Dan dengan hasil musyawarah dibentuklah susunan koordinasi pada kapal laut tersebut agar semuanya tidak saling sikut kewajiban, saling berebut tugas, atau saling mengharapkan temannya mengerjakan pekerjaannya. Ada regu yang mengurus bahan bakar kapal, ada yang mengurus makanan, ada yang mencari ikan, ada yang membersihkan kapal, ada yang memperbaiki kerusakan kapal, dan lain-lain.

Sebetulnya setiap orang dipersilahkan berlayar sendiri menggunakan perahu kecil yang dimilikinya, akan tetapi perlu diingat bahwa dalamnya air laut siapa yang kira tingginya ombak siapa yang duga. Orang-orang yang hanya mengandalkan perahu kecil kemungkinan tenggelamnya dalam gelombang laut terlampau besar untuk ditanggung oleh pundak seoarng anak manusia. Makanya, dalam perjalanannya kapal laut ini menuju ke pulau maka kapal-kapal ini akan memanggil orang-orang yang berada di bwah mereka yang menggunkan perahu-perahu kecil. Dengan tujuan menambah jama’ah karena dengan lebih banyaknya jama’ah maka akan ada banyak hal yang bisa diselesaikan dibanding jika dikerjakan oleh jama’ah yang sedikit.

Dalam perjalanannya, kapal-kapal ini akan menghadapi berbagai macam aral, gelombang pasang, angin gemuruh, cuaca yang keras, hujan badai, dan karang-karang laut. Akibatnya adalah kapal-kapal ini akan mengalami kerusakan yang paranh di sana-sini. Belum lagi di antara masalah yang ditimbulkan oleh penumpang-penumpang yang mementingkan diri sendiri berbuat seenaknya atas nama kapal. Mereka mencoreng nama baik kapal dan merobek bendera kapal, dalam bahasa kiasan. Yang mengakibatkan ada di antara para penumpang yang tidak tahan dengan kondisi kapal ini yang membuat mereka pusing, mabuk dan muntah-muntah. Ketika mereka yang tidak tahan ini sudah berada pada kondisi yang menjadikan mereka muak, mereka pun akhirnya turun dari kapal dan menggunakan sampan kecil mereka atau mereka akan beralih ke kapal yang lain.

Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa ada beberapa penumpang yang telah tertempa, terlatih, dan terbiasa dengan kondisi seperti itu, maka mereka akan dengan sabar berada di atas kapal tersebut. Mereka akan memanggil sesama penumpang kapal dan membicarakan bagaiman cara untuk memperbaiki kerusakan kapal yang terjadi. Bahu membahu dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah, karena mereka yakin sudah sunnatullah bahwa lebih banyak kepala memang bisa mendatangkan banyak masalah tapi bisa juga membawa banyak ide-ide yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Mereka yakin bahwa keruh pahitnya dalam berjama’ah jauh lebih lebih baik dari jernih manisnya ketika bersendirian.

Seiring berjalannya waktu, di antara kapal-kapal tersebut ada yang kerusakannya sudah sangat parah dan sulit untuk diperbaiki. Nahkoda sudah tidak peduli, navigator tidak peduli, seluruh penumpang juga tidak lagi peduli. Akhirnya kapal itu kehilangan arah, berputar, terombang-ambing dalam ganasnya ombak samudera. Yang menjadikan kapal itu melenceng dari tujuan yang semula yaitu mencapai pulau kejayaan islam. Ketika kapal yang sudah sangat rusak parah tersebut sudah tidak bisa diperbaiki, nahkoda sudah tidak peduli, penumpang saling mementingkan diri sendiri. Segala upaya untuk memperbaiki kapal kandas di tangan para pembuat kapal itu sendiri. Maka menjadi hal yang wajarlah jika sebagian orang dari mereka keluar dari kapal untuk membuat sebuah kapal baru, bukan sebagai bentuk pengkhianatan kepada teman-teman seperjuangannya, tapi sebagai bentuk menjaga agar diri mereka tidak ikut terseret dalam gelombang samudera yang menghantam. Agar tujuan dan cita-cita awal mereka menuju ke pulau tetap bisa terselesaikan. Agar mereka bisa berlabuh dengan suka cita di sana.

Akhir cerita, ketika mereka telah berlabuh, maka kapal-kapal tersebut pun ditinggalkan, benderanya mungkin masih berkibar, catatan-catatan rekaman pelayaran mungkin masih tersimpan, tiang-tiangnya masih tegak berdiri, cerobongnya masih kokoh menatap angkasa, tapi kapal itu sendiri kini tinggal kenangan. Karena pulau sudah dicapai, tujuan sudah tergapai, maka untuk apa lagi kita membangga-banggakan kapal kita, untuk apa lagi kita tetap tinggal di kapal. Bukankah tujuan awal kita membuat kapal untuk menuju sebuah Pulau, kapal itu hanya sebagai sarana transportasi. Dan ketika sarana itu sudah tidak diperlukan lagi maka kita pun meninggalkannya. Karena dengan meninggalkannya maka ummat bisa kembali bersatu dalam naungan islam tanpa membanggakan bendera dan semboyan masing-masing.


0 komentar:

Posting Komentar