Kami sempat melakukanya di awal-awal kami
mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan
ilmu. Kemudian kami ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa
mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal
anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal
tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:
- Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar.
- Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.
- Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.
- Keras dan kaku dalam berdakwah.
- Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.
- Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh.
- Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/ tokoh agama tertentu.
- Tidak serius belajar bahasa arab.
- Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik.
- Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.
Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa
bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah
selamat dunia-akherat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar di atasnya.
Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa
dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح
“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang
paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat
perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم
التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله
بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.
“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada
dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan
melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR.Hakim
dalam Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf
7:103, no 34522dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848,
shahih)
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena
banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka
dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan
tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya.
Contoh kasus:
- Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang
tuanya untuk belajar di kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa
gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah
membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan
lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur
dan terancam Drop Out. Tentu saja orang
tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia
anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang
tuanya.
- Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi
ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal.
Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian
kepada istri dan anak-anaknya.
Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
Al-An’am: 141).
Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan
kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi
nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini
hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja
setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.
Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih
sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga
nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel.
Contoh
kasus:
- Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa
menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua
keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti disangka teroris dan
lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah
menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih
belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan
silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus.
Dalam kasus ini:
Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِد مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika
ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah,
jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya
ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak
mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan
dari hukum sunnah.
- Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan], maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi di tempatnya
tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia
baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis
ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:
إِذَا تَعَارَضَ ضَرَرَانِ دُفِعَ أَخَفُّهُمَا
” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “
Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak
berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu
dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 159)
4. Keras dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan
dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang
tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:
- Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang
langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini
haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata,
“Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani
ceramahi saya?”.
- Seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah
kematian adalah bid’ah. Kemudian ia datang kekumpulan orang yang
melakukannya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa
ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.
- Seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya
yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema
tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan
firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini
sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan
berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu.
Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam
kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.
Memang ada yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode istidlal (cara
pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek
dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.
Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya
tinggi, banyak menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan
kaidah-kaidahnya.
Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj
salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak
sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena
kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata
yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan,
akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR. Muslim 55/95)
Yang dimaksud dengan nasehat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan
tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.
Mengenai suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya,
يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ “
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat
karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia
membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)
Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan
seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan
firman Allah Ta’ala,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
(QS. At-Thoha: 43-44). Kepada orang selevel Fir’aun saja harus
berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan
mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut
dan bijaksana lagi penuh hikmah.
6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah
ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah
saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan
dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan
hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih
mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan
menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam
memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:
- Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang
berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar,
cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau
duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan
islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan
hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut
mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika
saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling
gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
- Di kampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/
tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka
ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka,
menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak
menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari
mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas,
mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insya Allah- tapi tidak
ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya
kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati
mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan
menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing.
Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:
بسم الله الرحمان الرحيم
ِمِن مُحَمد رَسولِ اللهِ إِلَى عَظِيم الرُّوم
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”
Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian
ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan
merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu
kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تَحَاسَدوا وَلَا
تَناجَشُوا ولا تَبَاغَضُوا وَلاَ تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ
بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا
يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy,
jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan
sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia
menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan
jangan merendahkannya.(HR. Muslim no. 2564)
Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada
mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu
Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah.
Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam
memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau
ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat
tersebut berkata,
يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن
“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa,
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya
dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]
Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah.
Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk Thoif tidak lama menjadi
salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.
Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin
ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan
terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana.
Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya.
Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip
“Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat
sendiri bermunajat kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun
engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR. Muslim no. 2626)
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk
membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus
mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan
terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema
yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian
adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu,
menerapkan hajr/memboikot di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.
Seharusnya ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih
memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan
pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,
إنَّكَ تَأتِي قَومًا مِنْ أَهلِ الكِتَاب، فَليَكُن أَوَّلَ مَا تَدعُوهُم إِلَيهِ شَهاَدة أَن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka
hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah
syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka
mentauhidkan Allah”. (Muttafaqun ‘alaih)
Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran.
Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama.
Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui
kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan.
Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi
dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah, belum tentu kita
lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi
sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai
sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal
banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.
‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل
الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح
فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت
العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو
أصغر منك.
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia
dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih
tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah)
8. Tidak serius belajar bahasa arab
Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa
hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci
fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang
akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah.
Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti
orang yang sangat tua. Fadhu ‘ain juga pada ilmu yang mencukupkan ia
paham agamanya dan fadhu kifayah pada ilmu tambahan seperti ilmu syair.
Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.
Dan
hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi
Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau
berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang
isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah
Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” (Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof)
Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga
kita bisa mudah menghapal Al-Quran dan hadist, mudah tersentuh dengan
Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa
arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.
Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab,
tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini
membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah
diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang
semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius
belajar bahasa arab.
Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka
semangat ikut kajian di sana-sini, kemudian mulai bosan dengan kajian
yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca
di rumah dan di internet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan
orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau
ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya
sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang
bermanfaat seperti facebook dan internet berjam-jam, ngobrol-ngobrol
tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus
dalam hal-hal yang haram.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah).
Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka
semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang
lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh,
mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid.
Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, amal dan dakwah.
Finally, mereka pun bisa merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan
diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang
dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa
dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan
khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok
atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa,
sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah
serta berkumpul bersama mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat
yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari
peredaran dakwah. lingkungan dan teman yang baik memang dibutuhkan bagi
semua orang.
Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ
كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ
صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ
الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا
خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang
yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan
pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau
bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan
pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus
terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)
Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran,
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ
“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka
utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan
(perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.(QS. Al-Qashash: 34)
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia
Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ
نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka
membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka
ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi
mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. (HR. Muslim nomor 6793)
Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan
saling menasehati. Di mana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan
sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama.
sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا
الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب
انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan
takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka
buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi
beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan
ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah)
Tidak sedikit kita mendengar berita:
- Ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia
kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang
menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan
seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.
- Akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu, memakai jilbab lebar,
memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3
dikota B atau di luar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah
memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.
Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini.
Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi
rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi
karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara
perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda,
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)
Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:
- Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
- Dakwah tidak diterima oleh orang lain
- Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
- Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ (HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Syawwal 1432 H, bertepatan 5 September 2011
Penyusun: Raehanul Bahraen
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar